
ILMU & AMAL
Arsip catatan Kajian Ilmiah & Kutipan Nasihat para Ulama, pakar pengetahuan dan Asatidz Indonesia & Luar Negeri. Silahkan gunakan kata kunci di pencarian (search) untuk menemukan topik diinginkan. Jazaakumullahu khyran.
Recent Posts
Diantara Doa berlindung dari Neraka
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِىَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- كَانَ يَدْعُو بِهَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ النَّارِ وَعَذَابِ النَّارِ وَمِنْ شَرِّ الْغِنَى وَالْفَقْرِ».رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ وَهَذَا لَفْظُ أَبِيْ دَاوُدَ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dengan kalimat-kalimat ini, “ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MIN FITNATIN NAAR WA ‘ADZAABIN NAAR, WA MIN SYARRIL GHINAA WAL FAQR”(Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah (ujian di) neraka dan azab neraka, serta dari keburukan kekayaan dan kefakiran).”
(HR. Abu Daud, Tirmidzi. Ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih. Lafaznya adalah lafaz Abu Daud) [HR. Abu Daud, no. 1543; Tirmidzi, no. 3495; Ibnu Majah, no. 3838. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih, perawinya tsiqqah].
Rumaysho.com
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِىَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- كَانَ يَدْعُو بِهَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ النَّارِ وَعَذَابِ النَّارِ وَمِنْ شَرِّ الْغِنَى وَالْفَقْرِ».رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ وَهَذَا لَفْظُ أَبِيْ دَاوُدَ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dengan kalimat-kalimat ini, “ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MIN FITNATIN NAAR WA ‘ADZAABIN NAAR, WA MIN SYARRIL GHINAA WAL FAQR”(Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah (ujian di) neraka dan azab neraka, serta dari keburukan kekayaan dan kefakiran).”
(HR. Abu Daud, Tirmidzi. Ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih. Lafaznya adalah lafaz Abu Daud) [HR. Abu Daud, no. 1543; Tirmidzi, no. 3495; Ibnu Majah, no. 3838. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih, perawinya tsiqqah].
Rumaysho.com
Apakah mukmin bisa masuk neraka?
Jawabannya adalah iya.
Apa dalilnya?
Banyak. Misalnya ayat ini,
﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ﴾ [النساء: 48]
Artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. ” (Q.S. al-Nisā’: 48)
Ayat di atas menunjukkan bahwa dosa dibawah syirik itu ada.
Dosa dibawah syirik itu kemungkinannya dua: diampuni Allah atau tidak.
Jika tidak diampuni maka maknanya disiksa di neraka.
Jadi ayat ini menegaskan bahwa ada orang yang tidak syirik tapi melakukan dosa selain syirik seperti membunuh, mencuri, membunuh atau berzina atau dosa-dosa lain padahal dia mukmin.
Yang seperti ini tidak disebut kafir tetapi ‘uṣāt (العصاة)/orang yang bermaksiat.
Mukmin yang wafat dalam keadaan melakukan dosa di bawah syirik dan belum bertobat, lalu Allah tidak mengampuni, maka dia akan disiksa di neraka walaupun tidak kekal!
***
Hadis Nabi ﷺ tentang dua muslim berkelahi dan dua-duanya masuk neraka, baik yang membunuh maupun yang dibunuh juga menunjukkan ada orang yang menyatakan beriman di dunia tetapi masuk neraka karena dosa besarnya yang belum ditobati.
Riwayat tentang mukmin yang punya utang lalu wafat dan selama belum dilunasi maka kulitnya panas terbakar juga menunjukkan mati dalam keadaan berdosa belum bertobat itu bisa membuat disiksa.
Riwayat tentang lelaki yang korupsi, mencuri harta ganimah lalu mati dan disangka mati syahid, tapi dibantah Rasulullah ﷺ karena dia akan dibakar di neraka akibat curiannya itu, juga cukup jelas menunjukkan ada mukmin yang masuk neraka
Riwayat tentang Rasulullah ﷺ meminta syafaat lalu dikabulkan Allah, lalu mengambili mukmin yang di hatinya ada kalimat tauhid menunjukkan mukmin bertauhid bisa masuk neraka karena dosa-dosa yang belum ditobatinya.
Ringkasnya, mukmin tapi masuk neraka itu haqq dan dalil masalah ini banyak.
أعاذنا الله من النار
Muafa
Jawabannya adalah iya.
Apa dalilnya?
Banyak. Misalnya ayat ini,
﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ﴾ [النساء: 48]
Artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. ” (Q.S. al-Nisā’: 48)
Ayat di atas menunjukkan bahwa dosa dibawah syirik itu ada.
Dosa dibawah syirik itu kemungkinannya dua: diampuni Allah atau tidak.
Jika tidak diampuni maka maknanya disiksa di neraka.
Jadi ayat ini menegaskan bahwa ada orang yang tidak syirik tapi melakukan dosa selain syirik seperti membunuh, mencuri, membunuh atau berzina atau dosa-dosa lain padahal dia mukmin.
Yang seperti ini tidak disebut kafir tetapi ‘uṣāt (العصاة)/orang yang bermaksiat.
Mukmin yang wafat dalam keadaan melakukan dosa di bawah syirik dan belum bertobat, lalu Allah tidak mengampuni, maka dia akan disiksa di neraka walaupun tidak kekal!
***
Hadis Nabi ﷺ tentang dua muslim berkelahi dan dua-duanya masuk neraka, baik yang membunuh maupun yang dibunuh juga menunjukkan ada orang yang menyatakan beriman di dunia tetapi masuk neraka karena dosa besarnya yang belum ditobati.
Riwayat tentang mukmin yang punya utang lalu wafat dan selama belum dilunasi maka kulitnya panas terbakar juga menunjukkan mati dalam keadaan berdosa belum bertobat itu bisa membuat disiksa.
Riwayat tentang lelaki yang korupsi, mencuri harta ganimah lalu mati dan disangka mati syahid, tapi dibantah Rasulullah ﷺ karena dia akan dibakar di neraka akibat curiannya itu, juga cukup jelas menunjukkan ada mukmin yang masuk neraka
Riwayat tentang Rasulullah ﷺ meminta syafaat lalu dikabulkan Allah, lalu mengambili mukmin yang di hatinya ada kalimat tauhid menunjukkan mukmin bertauhid bisa masuk neraka karena dosa-dosa yang belum ditobatinya.
Ringkasnya, mukmin tapi masuk neraka itu haqq dan dalil masalah ini banyak.
أعاذنا الله من النار
Muafa
📚 Al-Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
@ Playen - Panggang, 14 Rajab 1446 H
@ Playen - Panggang, 14 Rajab 1446 H
KETIKA SALAFIYAH DICORENG OLEH FANATISME
Fatwa dari Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah
✏️ Pertanyaan:
“Kami ingin mengetahui apa itu Salafiyah sebagai manhaj, apakah kami boleh mengakuinya atau menyandarkan diri kepadanya? Apakah kami boleh mengingkari orang yang tidak menyandarkan diri kepadanya atau yang mengingkari istilah ‘Salafi’ atau sejenisnya?”
✏️ Jawaban:
Segala puji bagi Allah.
“Salafiyah adalah mengikuti manhaj Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena merekalah yang telah mendahului kita dan memiliki keutamaan di atas kita. Maka mengikuti mereka adalah hakikat dari Salafiyah.
Adapun menjadikan Salafiyah sebagai manhaj khusus yang hanya diikuti oleh seseorang dan mencela siapa pun yang menyelisihi manhaj tersebut dari kalangan kaum Muslimin, meskipun mereka berada di atas kebenaran, atau menjadikan Salafiyah sebagai manhaj kelompok tertentu, maka hal ini jelas bertentangan dengan prinsip Salafiyah. Para salaf seluruhnya menyeru kepada persatuan dan kebersamaan dalam mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, dan mereka tidak mencela orang yang menyelisihi mereka dalam perkara ijtihad, kecuali dalam masalah akidah. Dalam masalah akidah, mereka memandang bahwa orang yang menyelisihi mereka adalah sesat. Namun dalam perkara amal praktis, mereka sangat memberikan kelonggaran.
Sayangnya, sebagian orang yang mengaku mengikuti Salafiyah di zaman ini mencela siapa pun yang menyelisihi mereka, meskipun yang benar ada pada pihak lain. Bahkan sebagian dari mereka menjadikan Salafiyah sebagai manhaj kelompok tertentu, seperti manhaj kelompok-kelompok lain yang juga mengatasnamakan Islam. Hal ini yang diingkari dan tidak dapat dibenarkan. Maka, hendaknya kita berkata: ‘Lihatlah kepada manhaj Salafus Salih, bagaimana mereka bersikap? Perhatikan metode mereka dalam menerima perbedaan pendapat dalam perkara ijtihad yang masih diperbolehkan.’ Bahkan mereka (Salafus Salih) berbeda pendapat dalam perkara-perkara besar, baik dalam akidah maupun amal, namun mereka tidak saling mencela.
Sebagai contoh, sebagian mereka berpendapat bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melihat Rabb-Nya, sementara yang lain mengatakan tidak. Sebagian berpendapat bahwa yang ditimbang pada hari kiamat adalah amal, sedangkan yang lain berpendapat bahwa yang ditimbang adalah lembaran catatan amal. Dalam masalah fikih pun, mereka sering berbeda pendapat, seperti dalam pernikahan, warisan, jual beli, dan lainnya. Namun demikian, mereka tidak saling mencela satu sama lain.
Jadi, jika Salafiyah dijadikan sebagai kelompok khusus dengan ciri-ciri tertentu yang mencela siapa saja yang berada di luar kelompoknya, maka hal ini bukan bagian dari Salafiyah.
Adapun Salafiyah yang sebenarnya adalah mengikuti manhaj Salaf dalam akidah, ucapan, amal, persatuan, perbedaan, kesepakatan, kasih sayang, dan saling mencintai, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam: ‘Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan, kasih sayang, dan kelembutan mereka seperti satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan demam dan tidak bisa tidur.’ Inilah Salafiyah yang benar.”
(Disampaikan oleh Fadhilah Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam “Liqa’at al-Bab al-Maftuh” (3/246).)
-
Pernyataan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah sejalan dengan apa yang diajarkan oleh para ulama yang berusaha mengikuti manhaj salafush shalih. Namun, menjadikan label “Salafi” sebagai identitas kelompok dengan otoritas tertentu untuk menentukan siapa yang masuk atau keluar dari Salafiyah adalah bentuk fanatisme yang bertentangan dengan prinsip Salafiyah.
Sayangnya, keributan di dunia maya sering dipicu oleh akun-akun anonim atau sebagian individu yang tidak mempraktikkan nasihat ulama Salafi, seperti Syaikh Ibnu Utsaimin. Sementara itu, mereka yang konsisten mengikuti manhaj ini lebih sibuk dengan ilmu, amal, dan dakwah sehingga jarang terlihat di media sosial.
Ironisnya, yang mencuat justru perilaku individu-individu yang merusak kemuliaan Salafiyah.
Wallahu a’lam.
Fatwa dari Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah
✏️ Pertanyaan:
“Kami ingin mengetahui apa itu Salafiyah sebagai manhaj, apakah kami boleh mengakuinya atau menyandarkan diri kepadanya? Apakah kami boleh mengingkari orang yang tidak menyandarkan diri kepadanya atau yang mengingkari istilah ‘Salafi’ atau sejenisnya?”
✏️ Jawaban:
Segala puji bagi Allah.
“Salafiyah adalah mengikuti manhaj Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena merekalah yang telah mendahului kita dan memiliki keutamaan di atas kita. Maka mengikuti mereka adalah hakikat dari Salafiyah.
Adapun menjadikan Salafiyah sebagai manhaj khusus yang hanya diikuti oleh seseorang dan mencela siapa pun yang menyelisihi manhaj tersebut dari kalangan kaum Muslimin, meskipun mereka berada di atas kebenaran, atau menjadikan Salafiyah sebagai manhaj kelompok tertentu, maka hal ini jelas bertentangan dengan prinsip Salafiyah. Para salaf seluruhnya menyeru kepada persatuan dan kebersamaan dalam mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, dan mereka tidak mencela orang yang menyelisihi mereka dalam perkara ijtihad, kecuali dalam masalah akidah. Dalam masalah akidah, mereka memandang bahwa orang yang menyelisihi mereka adalah sesat. Namun dalam perkara amal praktis, mereka sangat memberikan kelonggaran.
Sayangnya, sebagian orang yang mengaku mengikuti Salafiyah di zaman ini mencela siapa pun yang menyelisihi mereka, meskipun yang benar ada pada pihak lain. Bahkan sebagian dari mereka menjadikan Salafiyah sebagai manhaj kelompok tertentu, seperti manhaj kelompok-kelompok lain yang juga mengatasnamakan Islam. Hal ini yang diingkari dan tidak dapat dibenarkan. Maka, hendaknya kita berkata: ‘Lihatlah kepada manhaj Salafus Salih, bagaimana mereka bersikap? Perhatikan metode mereka dalam menerima perbedaan pendapat dalam perkara ijtihad yang masih diperbolehkan.’ Bahkan mereka (Salafus Salih) berbeda pendapat dalam perkara-perkara besar, baik dalam akidah maupun amal, namun mereka tidak saling mencela.
Sebagai contoh, sebagian mereka berpendapat bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melihat Rabb-Nya, sementara yang lain mengatakan tidak. Sebagian berpendapat bahwa yang ditimbang pada hari kiamat adalah amal, sedangkan yang lain berpendapat bahwa yang ditimbang adalah lembaran catatan amal. Dalam masalah fikih pun, mereka sering berbeda pendapat, seperti dalam pernikahan, warisan, jual beli, dan lainnya. Namun demikian, mereka tidak saling mencela satu sama lain.
Jadi, jika Salafiyah dijadikan sebagai kelompok khusus dengan ciri-ciri tertentu yang mencela siapa saja yang berada di luar kelompoknya, maka hal ini bukan bagian dari Salafiyah.
Adapun Salafiyah yang sebenarnya adalah mengikuti manhaj Salaf dalam akidah, ucapan, amal, persatuan, perbedaan, kesepakatan, kasih sayang, dan saling mencintai, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam: ‘Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan, kasih sayang, dan kelembutan mereka seperti satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan demam dan tidak bisa tidur.’ Inilah Salafiyah yang benar.”
(Disampaikan oleh Fadhilah Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam “Liqa’at al-Bab al-Maftuh” (3/246).)
-
Pernyataan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah sejalan dengan apa yang diajarkan oleh para ulama yang berusaha mengikuti manhaj salafush shalih. Namun, menjadikan label “Salafi” sebagai identitas kelompok dengan otoritas tertentu untuk menentukan siapa yang masuk atau keluar dari Salafiyah adalah bentuk fanatisme yang bertentangan dengan prinsip Salafiyah.
Sayangnya, keributan di dunia maya sering dipicu oleh akun-akun anonim atau sebagian individu yang tidak mempraktikkan nasihat ulama Salafi, seperti Syaikh Ibnu Utsaimin. Sementara itu, mereka yang konsisten mengikuti manhaj ini lebih sibuk dengan ilmu, amal, dan dakwah sehingga jarang terlihat di media sosial.
Ironisnya, yang mencuat justru perilaku individu-individu yang merusak kemuliaan Salafiyah.
Wallahu a’lam.
Semua hanya sementara...
Semua hanya titipan..
Semua bisa pergi dalam sekejap jika Allah berkehendak mengambilnya..
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan:
"Semua orang di dunia ini adalah tamu, Sedangkan harta seluruhnya adalah titipan. Semua tamu pasti pergi sedangkan barang titipan itu harus dikembalikan kepada pemilik.” (Az-Zuhd karya Imam Ahmad no 906)
Maka tak ada yang patut kita sombongkan dalam hidup di dunia ini, karna hakikatnya harta, pangkat, jabatan, kekuatan, ketenaran dan semua yang kita miliki hanya titipan.
***
✍ Habibie Quotes, 17/03/22
Semua hanya titipan..
Semua bisa pergi dalam sekejap jika Allah berkehendak mengambilnya..
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan:
"Semua orang di dunia ini adalah tamu, Sedangkan harta seluruhnya adalah titipan. Semua tamu pasti pergi sedangkan barang titipan itu harus dikembalikan kepada pemilik.” (Az-Zuhd karya Imam Ahmad no 906)
Maka tak ada yang patut kita sombongkan dalam hidup di dunia ini, karna hakikatnya harta, pangkat, jabatan, kekuatan, ketenaran dan semua yang kita miliki hanya titipan.
***
✍ Habibie Quotes, 17/03/22
HUKUM MUFAROQOH SHALAT JUM'AT PADA RAKAAT KEDUA
PERTANYAAN :
bagaimana hukum shalat jumat yang pada rokaat kedua tidak mengikuti imam seperti mufarakah, mohon jawabannya,
JAWABAN :
Adalah wajib berjama'ah pada roka'at pertama shalat jum'at sampai selesai sujud yang kedua, sehingga jikalau mereka berniat mufaroqoh, kemudian mereka sempurnakan shalat jum'at sendiri-sendiri sampai selesai, maka shah shalat jum'atnya. Lihat ataqrirat assadiidah 327 :
وتجيب الجماعة في ركعة الا ولى الى الفراغ من السجدة الثانية فلو نووا المفارقة بعدها واكملوها فرادى الى نهايتها تصحت الجمعة
Para ulama telah bersepakat bahwa siapa yang tertinggal ikut jamaah shalat jumat, maka harus shalat empat rakaat yaitu shalat zhuhur. Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan masih ikut shalat jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu rakaat bersama imam dalam shalat jumat.
Misal, pada shalat jumat ada seorang yang terlambat. Lalu dia ikut shalat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah berada pada rakaat kedua tapi belum lagi bangun dari ruku‘. Maka bila makmum itu masih sempat ruku‘ bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat bersama imam. Dalam hal ini, dia mendapatkan shalat jumat karena minimal ikut satu rakaat. Jadi bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk menyelesaikan satu rakaat lagi.
Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada saat ruku‘ di rakaat kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama imam. Yang harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat untuk shalat zhuhur.
Bila seseorang masuk masjid untuk shalat jumat, tetapi imam sudah i
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلاةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا
Dari Abi Hurairah ra.“Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (Hadits Muttafaq Alaihi).
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاةِ اَلْجُمُعَةِ وَغَيْرِهَا فَلْيُضِفْ إِلَيْهَا أُخْرَى وَقَدْ تَمَّتْ صَلاتُهُ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَاللَّفْظُ لَهُ, وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ, لَكِنْ قَوَّى أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَهُ
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada shalat Jumat atau shalat lainnya, maka tambahkanlah rakaat lainnya, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni).
Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadits lain yang senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya.
Wallohu a'lam
Ali Mahrus
PERTANYAAN :
bagaimana hukum shalat jumat yang pada rokaat kedua tidak mengikuti imam seperti mufarakah, mohon jawabannya,
JAWABAN :
Adalah wajib berjama'ah pada roka'at pertama shalat jum'at sampai selesai sujud yang kedua, sehingga jikalau mereka berniat mufaroqoh, kemudian mereka sempurnakan shalat jum'at sendiri-sendiri sampai selesai, maka shah shalat jum'atnya. Lihat ataqrirat assadiidah 327 :
وتجيب الجماعة في ركعة الا ولى الى الفراغ من السجدة الثانية فلو نووا المفارقة بعدها واكملوها فرادى الى نهايتها تصحت الجمعة
Para ulama telah bersepakat bahwa siapa yang tertinggal ikut jamaah shalat jumat, maka harus shalat empat rakaat yaitu shalat zhuhur. Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan masih ikut shalat jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu rakaat bersama imam dalam shalat jumat.
Misal, pada shalat jumat ada seorang yang terlambat. Lalu dia ikut shalat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah berada pada rakaat kedua tapi belum lagi bangun dari ruku‘. Maka bila makmum itu masih sempat ruku‘ bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat bersama imam. Dalam hal ini, dia mendapatkan shalat jumat karena minimal ikut satu rakaat. Jadi bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk menyelesaikan satu rakaat lagi.
Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada saat ruku‘ di rakaat kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama imam. Yang harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat untuk shalat zhuhur.
Bila seseorang masuk masjid untuk shalat jumat, tetapi imam sudah i
tidal (bangun dari ruku
) pada rakaat kedua, maka saat itu dia harus takbiratul ihram dan langsung ikut shalat berjamaah bersama imam tapi niatnya adalah shalat zhuhur. Bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk shalat zhuhur sebanyak 4 rakaat. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلاةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا
Dari Abi Hurairah ra.“Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (Hadits Muttafaq Alaihi).
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاةِ اَلْجُمُعَةِ وَغَيْرِهَا فَلْيُضِفْ إِلَيْهَا أُخْرَى وَقَدْ تَمَّتْ صَلاتُهُ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَاللَّفْظُ لَهُ, وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ, لَكِنْ قَوَّى أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَهُ
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada shalat Jumat atau shalat lainnya, maka tambahkanlah rakaat lainnya, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni).
Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadits lain yang senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya.
Wallohu a'lam
Ali Mahrus
Sebagian Kekeliruan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Penyebabnya
☆ ☆ ☆
Tulisan ini menegaskan apa yang saya tulis sebelumnya tentang Ibnu Taimiyyah, bahwa beliau (tentu) memiliki kekeliruan, karena (tentu) tidak maksum. Materi tulisan ini saya ambil dari status FB Ustaz Muhammad Bara` Yasin yang dipublikasikan kemarin, dengan sedikit penyesuaian dan penyuntingan.
Di antara kritik sebagian ulama terhadap Ibnu Taimiyyah adalah beliau melakukan sejumlah kekeliruan yang berkaitan dengan hadis dan penukilan. Kritik ini faktual. Hal tersebut disebabkan Ibnu Taimiyyah mengandalkan hafalannya, dan terjadinya salah ingat merupakan perkara yang wajar menimpa ulama, yang notabene merupakan manusia biasa.
Di antara komentar al-Hafizh Ibnu Hajar tentang Ibnu Taimiyyah:
كان لاتساعه في الحفظ يَتَّكِل على ما في صدره
"Karena luasnya hafalan Ibnu Taimiyyah, maka dia mengandalkan apa yang ada di dalam ingatannya." [Ref.: Lisan Al-Mizan, vol. VI, hlm. 319.]
Syaikh 'Abdurrahman al-Mu'allimi berkata,
وصاحب (الاقتضاء) يورد في مؤلّفاته الأحاديثَ من حفظه
"Penulis kitab al-Iqtidha’ (yaitu Ibnu Taimiyyah) dalam karya-karyanya menyebutkan hadis-hadis berdasarkan hafalannya." [Ref.: al-Anwar al-Kasyifah, dalam al-Atsar, vol. XII, hlm. 175.]
Syaikh Muhammad Bu Khubzah berkata,
ثم إن آفة أبي البيض (أحمد بن الصديق الغماري) أنه كان يعتمد على ذاكرته ومحفوظه، فيذكر ما يجد، فيقع في أخطاء في العزو والألفاظ، وكان يعيب ذلك على شيخ الإسلام ابن تيمية، ولكن الفرق بين الرجلين أن ابن تيمية أحفظ بمراحل، وهو يتحرى فلا يحتج بحديث واه أو موضوع ويسكت عنه وهو يعلم، بخلاف أبي البيض فحسبه نصرة هواه
"Kelemahan Abul-Baidh (Ahmad bin ash-Shiddiq al-Ghummari) adalah dia mengandalkan ingatan dan hafalannya. Dia menyebutkan apa yang terlintas dalam pikirannya, sehingga terjatuh dalam kesalahan dalam menyebut sumber dan redaksi hadis. (Tapi) dia juga mencela Ibnu Taimiyyah dikarenakan hal tersebut. Namun, perbedaan antara keduanya adalah, bahwa Ibnu Taimiyyah memiliki hafalan yang jauh lebih kuat dan beliau juga berhati-hati, sehingga beliau tidak berdalil dengan hadis lemah atau palsu lalu mendiamkannya begitu saja sedangkan beliau mengetahuinya. Lain halnya dengan Abul-Baidh, yang semata-mata mengikuti hawa nafsunya." [Ref.: Shahifah Sawabiq wa Jaridah Bawa’iq.]
Namun demikian, Ibnu Taimiyyah juga bersikap hati-hati. Terhadap hal-hal terperinci yang beliau memang tidak menghafalnya (di luar dari kasus salah ingat), maka beliau memutuskan untuk tidak menuliskannya. Ibnu Taimiyyah berkata pada suatu kesempatan,
ولقد بحثت في هذا الباب وكشفته، وطالعت التفاسير المنقولة عن الصحابة نقلًا صحيحًا، ولم أجد عن أحد من الصحابة أنه تأوّل آية واحدة من الآيات التي ظاهرها صفة على نفي الصفة، بل وجدت عنهم من الآثار التي تقرر النصوص وتثبت الصفات وتصرح بمنافاة قول المتأولين والمعطلين ما لا يتسع هذا الموضع لكتابته، ولا يحضرني تفاصيل ذلك، وليست الكتب عندي، وكتابة مثل هذا من الحفظ متعذّر
"Saya telah meneliti masalah ini dan membahasnya. Saya juga telah membaca tafsir-tafsir yang dinukil secara sahih dari para sahabat. Namun, saya tidak menemukan satu pun dari para sahabat yang menafsirkan satu ayat pun yang secara zahir menunjukkan sifat (Allah) dengan penafsiran yang menafikan sifat tersebut. Justru yang saya dapatkan dari mereka adalah riwayat-riwayat yang menguatkan teks-teks tersebut, dengan menetapkan sifat-sifat (Allah), serta dengan tegas membantah pandangan para penakwil dan mereka yang menafikan (sifat). Namun, saya tidak dapat menuliskan semua itu di sini, dan saya tidak memiliki rincian itu dalam ingatanku. Kitab-kitab saya juga sedang tidak berada di sisi saya, dan menulis hal semacam itu dari hafalan merupakan sesuatu yang terhalang." [Ref.: Jawab al-I‘tiradhat al-Mishriyyah, hlm. 108.]
Allahu a'lam.
20250114 adniku
(SAMHA Project)
☆ ☆ ☆
Tulisan ini menegaskan apa yang saya tulis sebelumnya tentang Ibnu Taimiyyah, bahwa beliau (tentu) memiliki kekeliruan, karena (tentu) tidak maksum. Materi tulisan ini saya ambil dari status FB Ustaz Muhammad Bara` Yasin yang dipublikasikan kemarin, dengan sedikit penyesuaian dan penyuntingan.
Di antara kritik sebagian ulama terhadap Ibnu Taimiyyah adalah beliau melakukan sejumlah kekeliruan yang berkaitan dengan hadis dan penukilan. Kritik ini faktual. Hal tersebut disebabkan Ibnu Taimiyyah mengandalkan hafalannya, dan terjadinya salah ingat merupakan perkara yang wajar menimpa ulama, yang notabene merupakan manusia biasa.
Di antara komentar al-Hafizh Ibnu Hajar tentang Ibnu Taimiyyah:
كان لاتساعه في الحفظ يَتَّكِل على ما في صدره
"Karena luasnya hafalan Ibnu Taimiyyah, maka dia mengandalkan apa yang ada di dalam ingatannya." [Ref.: Lisan Al-Mizan, vol. VI, hlm. 319.]
Syaikh 'Abdurrahman al-Mu'allimi berkata,
وصاحب (الاقتضاء) يورد في مؤلّفاته الأحاديثَ من حفظه
"Penulis kitab al-Iqtidha’ (yaitu Ibnu Taimiyyah) dalam karya-karyanya menyebutkan hadis-hadis berdasarkan hafalannya." [Ref.: al-Anwar al-Kasyifah, dalam al-Atsar, vol. XII, hlm. 175.]
Syaikh Muhammad Bu Khubzah berkata,
ثم إن آفة أبي البيض (أحمد بن الصديق الغماري) أنه كان يعتمد على ذاكرته ومحفوظه، فيذكر ما يجد، فيقع في أخطاء في العزو والألفاظ، وكان يعيب ذلك على شيخ الإسلام ابن تيمية، ولكن الفرق بين الرجلين أن ابن تيمية أحفظ بمراحل، وهو يتحرى فلا يحتج بحديث واه أو موضوع ويسكت عنه وهو يعلم، بخلاف أبي البيض فحسبه نصرة هواه
"Kelemahan Abul-Baidh (Ahmad bin ash-Shiddiq al-Ghummari) adalah dia mengandalkan ingatan dan hafalannya. Dia menyebutkan apa yang terlintas dalam pikirannya, sehingga terjatuh dalam kesalahan dalam menyebut sumber dan redaksi hadis. (Tapi) dia juga mencela Ibnu Taimiyyah dikarenakan hal tersebut. Namun, perbedaan antara keduanya adalah, bahwa Ibnu Taimiyyah memiliki hafalan yang jauh lebih kuat dan beliau juga berhati-hati, sehingga beliau tidak berdalil dengan hadis lemah atau palsu lalu mendiamkannya begitu saja sedangkan beliau mengetahuinya. Lain halnya dengan Abul-Baidh, yang semata-mata mengikuti hawa nafsunya." [Ref.: Shahifah Sawabiq wa Jaridah Bawa’iq.]
Namun demikian, Ibnu Taimiyyah juga bersikap hati-hati. Terhadap hal-hal terperinci yang beliau memang tidak menghafalnya (di luar dari kasus salah ingat), maka beliau memutuskan untuk tidak menuliskannya. Ibnu Taimiyyah berkata pada suatu kesempatan,
ولقد بحثت في هذا الباب وكشفته، وطالعت التفاسير المنقولة عن الصحابة نقلًا صحيحًا، ولم أجد عن أحد من الصحابة أنه تأوّل آية واحدة من الآيات التي ظاهرها صفة على نفي الصفة، بل وجدت عنهم من الآثار التي تقرر النصوص وتثبت الصفات وتصرح بمنافاة قول المتأولين والمعطلين ما لا يتسع هذا الموضع لكتابته، ولا يحضرني تفاصيل ذلك، وليست الكتب عندي، وكتابة مثل هذا من الحفظ متعذّر
"Saya telah meneliti masalah ini dan membahasnya. Saya juga telah membaca tafsir-tafsir yang dinukil secara sahih dari para sahabat. Namun, saya tidak menemukan satu pun dari para sahabat yang menafsirkan satu ayat pun yang secara zahir menunjukkan sifat (Allah) dengan penafsiran yang menafikan sifat tersebut. Justru yang saya dapatkan dari mereka adalah riwayat-riwayat yang menguatkan teks-teks tersebut, dengan menetapkan sifat-sifat (Allah), serta dengan tegas membantah pandangan para penakwil dan mereka yang menafikan (sifat). Namun, saya tidak dapat menuliskan semua itu di sini, dan saya tidak memiliki rincian itu dalam ingatanku. Kitab-kitab saya juga sedang tidak berada di sisi saya, dan menulis hal semacam itu dari hafalan merupakan sesuatu yang terhalang." [Ref.: Jawab al-I‘tiradhat al-Mishriyyah, hlm. 108.]
Allahu a'lam.
20250114 adniku
(SAMHA Project)
Manhaj para Salafus Shalih dalam berakidah yang membedakannya dari manhaj ahli bid'ah terangkum dalam poin-poin berikut,
1). Perkara i’tiqad (keyakinan) sumber pengambilannya murni dari Al-Qur’an was Sunnah serta memahaminya dengan pemahaman shahabat Nabi, tabiin, tabiit tabiin.
2). Berhujjah dengan sunnah yang shahih dalam bab akidah baik sunnah yang bersumber dari hadits-hadits mutawatir maupun ahad.
3). Menerima seluruh berita yang bersumber dari wahyu dan tidak menolaknya hanya karena belum bisa dinalar dan tidak mendalami perkara ghaib karena tidak dapat dijangkau oleh akal.
4). Tidak larut dalam pembahasan ilmu kalam dan filsafat.
5). Menolak takwil yang batil.
6). Menjamak (mengompromikan) nash-nash dalam menjawab satu permasalahan.
Akidah para salaf bersumber dari mata air yang jernih yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah ﷺ yang jauh dari pengaruh hawa nafsu dan syubhat.
Siapa yang berpegang teguh dengannya maka dia orang yang mengagungkan dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah karena mengimani seluruh isinya kebenaran yang hakiki.
📚 Kun Salafiyyan 'alal Jaddah (hlm. 48)
#manhajulhaq
1). Perkara i’tiqad (keyakinan) sumber pengambilannya murni dari Al-Qur’an was Sunnah serta memahaminya dengan pemahaman shahabat Nabi, tabiin, tabiit tabiin.
2). Berhujjah dengan sunnah yang shahih dalam bab akidah baik sunnah yang bersumber dari hadits-hadits mutawatir maupun ahad.
3). Menerima seluruh berita yang bersumber dari wahyu dan tidak menolaknya hanya karena belum bisa dinalar dan tidak mendalami perkara ghaib karena tidak dapat dijangkau oleh akal.
4). Tidak larut dalam pembahasan ilmu kalam dan filsafat.
5). Menolak takwil yang batil.
6). Menjamak (mengompromikan) nash-nash dalam menjawab satu permasalahan.
Akidah para salaf bersumber dari mata air yang jernih yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah ﷺ yang jauh dari pengaruh hawa nafsu dan syubhat.
Siapa yang berpegang teguh dengannya maka dia orang yang mengagungkan dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah karena mengimani seluruh isinya kebenaran yang hakiki.
📚 Kun Salafiyyan 'alal Jaddah (hlm. 48)
#manhajulhaq
Ikhtilaf dan tafarruq memiliki perbedaan mendasar yang penting untuk dipahami. Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat yang berlandaskan dalil-dalil syar’i dan bertujuan mencari kebenaran serta maslahat. Perbedaan ini terjadi dalam ruang lingkup yang diperbolehkan oleh syariat, seperti dalam masalah fiqih atau ijtihad ulama. Ikhtilaf memiliki ciri-ciri yang positif, seperti adanya penghormatan terhadap pendapat lain, dialog yang sehat, dan kontribusi terhadap khazanah keilmuan Islam. Contohnya adalah perbedaan jumlah rakaat salat tarawih, yang tidak menyebabkan permusuhan antarumat. Dengan demikian, ikhtilaf menjadi bagian dari rahmat Islam yang menunjukkan keluasan ajarannya.
Sebaliknya, tafarruq adalah perpecahan yang merusak persatuan umat. Tafarruq sering kali terjadi karena fanatisme golongan, hawa nafsu, atau sikap keras kepala yang tidak berlandaskan dalil. Perpecahan ini berbahaya karena menimbulkan permusuhan, melemahkan kekuatan umat, dan menghilangkan keberkahan persatuan. Akibatnya, umat Islam menjadi rentan terhadap ancaman eksternal dan kehilangan fokus terhadap tujuan utama. Dalam Islam, tafarruq sangat dilarang karena bertentangan dengan perintah Allah untuk berpegang teguh pada tali agama-Nya dan menjaga persatuan (Ali Imran: 103). Oleh karena itu, umat Islam harus menjunjung tinggi toleransi dalam perbedaan dan menjauhkan diri dari sikap-sikap yang memicu perpecahan.
Salam ukhuwah islamiyah
Halimi Zuhdy
Sebaliknya, tafarruq adalah perpecahan yang merusak persatuan umat. Tafarruq sering kali terjadi karena fanatisme golongan, hawa nafsu, atau sikap keras kepala yang tidak berlandaskan dalil. Perpecahan ini berbahaya karena menimbulkan permusuhan, melemahkan kekuatan umat, dan menghilangkan keberkahan persatuan. Akibatnya, umat Islam menjadi rentan terhadap ancaman eksternal dan kehilangan fokus terhadap tujuan utama. Dalam Islam, tafarruq sangat dilarang karena bertentangan dengan perintah Allah untuk berpegang teguh pada tali agama-Nya dan menjaga persatuan (Ali Imran: 103). Oleh karena itu, umat Islam harus menjunjung tinggi toleransi dalam perbedaan dan menjauhkan diri dari sikap-sikap yang memicu perpecahan.
Salam ukhuwah islamiyah
Halimi Zuhdy
IKHTILAF atau TAFARRUQ?
(Berbedaan atau Perpecaha)
Halimi Zuhdy
"Kalau kau ingin mempertajam pisau, maka asahlah, tapi jangan kau....."
Pisau, jika lama tidak digunakan, akan karat, bahkan akan rusak dan tidak akan dapat digunakan lagi. Tapi, jika ia digesek (diasah) dengan batu, atau benda keras lainnya, ia akan tajam.
Demikian pula, jika umat ingin tambah dewasa, maka gesekan kadang memang harus terjadi, ikhtilaf itu sebuah keniscayaan. Sekali lagi "ikhtilaf", bukan "tafarruq".
Persatuan itu penting, tapi tidak harus menolak perbedaan, bukankah indahnya siang, karena kita melewati malam, dan indahnya malam, karena siang pergi dengan senyum manisnya.
Para sahabat, tabiin, dan setelahnya, juga tidak lepas dari perbedaan. Seperti, para sahabat yang berbeda penentuan warisan untuk nenek (al-jad) pada masa Abu Bakar, Umar Al Faruq dengan Zaid bin Stabit tentang kata Al-Quru', pada masa Ustman bin Affan berbeda dalam hal siyayah, Ali bin Abi Thalib juga pernah berbeda dengan Muawiyah, dan Istri Nabi, Aisyah.
Belum lagi ikhtilaf para aimmah, kemudian melahirkan madzhab-madzhab. Itulah sebuah keindahan, yang membangkitkan gairah akademik tinggi, saling mengasah kecerdasan, pemikiran dan melahirkan berbagai pendapat, yang tentunya berangkat dari satu pohon, Al-Quran dan Al Hadis, yang membuahkan ijma', dan pendapat para alim.
Ikhtilaf, bukanlah berangkat dari ego, nafsu, kesombongan, kepentingan pribadi atau kelompok, yang melahirkan "tafarruq", tapi "ikhtilaf" berangkat dari sebuah kemurnian "ijtihad". Maka, di sanalah indahnya, tidak saling melaknat, tidak saling mengkafirkan, tidak saling bersitegang, apalagi saling bunuh.
Kadang miris sekali, melihat antraksi Medsos hari ini, bukannya hanya bully, tapi saling mengkafirkan, melaknat, dan fitnah yang membakar, bukan lagi iktilaf ummah rahmat yang selalu berdasar pada dalil, tetapi tafarruq yang tercela.
Mudah-mudahan cepat selesai, dan duduk tawadhu', dimulai dari para ulama dan didukung para pemimpin negeri.
Suatu kali
"أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، كَانَ يَقُولُ : مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا ، لأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ
“Tidaklah menggembirakanku jika saja para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berbeda pendapat,” kata Umar bin Abdul Aziz seperti diabadikan dalam Al Inabah Al Kubra dan Faidhul Qadir, “karena jika mereka tidak berbeda pendapat maka tidak akan ada rukhshah atau keringanan.”
"Agar lampu menyala, sambungkan dua kutub kabel yang berbeda" mari kita nyalakan lampu Islam, walau selalu ikhtilaf, jadikan ia sebatas berbeda pendapat, bukan perceraian ukhuwah islamiyah.
permisalan di bawah ini, penulis ibaratkan, karena ikhtilaf adalah kecantikan;
"Jika kau ingin membuat almari, maka gergajilah kayunya"
"Kayu tambah indah, jika diamplas"
Seharusnya ikhtilaf melahirkan persatuan, melahirkan kekuatan ruh, melahirkan keindahan, Islam. Tidak melahirkan arognasi kedirian dan ego sekterian.
Apa contoh perbedaan ikhtilaf dan tafarruq dalam suatu benda? Seperti "kunci pas" memiliki berbagai ukuran, masing-masing dirancang untuk menangani mur atau baut tertentu. Walaupun ukurannya berbeda, semua kunci pas memiliki tujuan yang sama, yaitu mengencangkan atau melonggarkan baut. Ini melambangkan ikhtilaf karena meskipun terdapat perbedaan dalam metode (ukuran alat), semuanya tetap bertujuan untuk mencapai tujuan yang sama dengan cara yang saling melengkapi.
Sedangkan "tafarruq", seperti "gelas pecah", ketika sebuah gelas pecah menjadi beberapa bagian, setiap pecahan menjadi tajam dan berbahaya. Selain itu, pecahan-pecahan tersebut kehilangan fungsinya sebagai gelas utuh yang dapat menampung air. Ini melambangkan tafarruq, di mana perpecahan tidak hanya menyebabkan kehilangan fungsi utama tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi sekitarnya.
Kembali kepada Ikhtilaf atau tafarruq?
(Berbedaan atau Perpecaha)
Halimi Zuhdy
"Kalau kau ingin mempertajam pisau, maka asahlah, tapi jangan kau....."
Pisau, jika lama tidak digunakan, akan karat, bahkan akan rusak dan tidak akan dapat digunakan lagi. Tapi, jika ia digesek (diasah) dengan batu, atau benda keras lainnya, ia akan tajam.
Demikian pula, jika umat ingin tambah dewasa, maka gesekan kadang memang harus terjadi, ikhtilaf itu sebuah keniscayaan. Sekali lagi "ikhtilaf", bukan "tafarruq".
Persatuan itu penting, tapi tidak harus menolak perbedaan, bukankah indahnya siang, karena kita melewati malam, dan indahnya malam, karena siang pergi dengan senyum manisnya.
Para sahabat, tabiin, dan setelahnya, juga tidak lepas dari perbedaan. Seperti, para sahabat yang berbeda penentuan warisan untuk nenek (al-jad) pada masa Abu Bakar, Umar Al Faruq dengan Zaid bin Stabit tentang kata Al-Quru', pada masa Ustman bin Affan berbeda dalam hal siyayah, Ali bin Abi Thalib juga pernah berbeda dengan Muawiyah, dan Istri Nabi, Aisyah.
Belum lagi ikhtilaf para aimmah, kemudian melahirkan madzhab-madzhab. Itulah sebuah keindahan, yang membangkitkan gairah akademik tinggi, saling mengasah kecerdasan, pemikiran dan melahirkan berbagai pendapat, yang tentunya berangkat dari satu pohon, Al-Quran dan Al Hadis, yang membuahkan ijma', dan pendapat para alim.
Ikhtilaf, bukanlah berangkat dari ego, nafsu, kesombongan, kepentingan pribadi atau kelompok, yang melahirkan "tafarruq", tapi "ikhtilaf" berangkat dari sebuah kemurnian "ijtihad". Maka, di sanalah indahnya, tidak saling melaknat, tidak saling mengkafirkan, tidak saling bersitegang, apalagi saling bunuh.
Kadang miris sekali, melihat antraksi Medsos hari ini, bukannya hanya bully, tapi saling mengkafirkan, melaknat, dan fitnah yang membakar, bukan lagi iktilaf ummah rahmat yang selalu berdasar pada dalil, tetapi tafarruq yang tercela.
Mudah-mudahan cepat selesai, dan duduk tawadhu', dimulai dari para ulama dan didukung para pemimpin negeri.
Suatu kali
"أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، كَانَ يَقُولُ : مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا ، لأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ
“Tidaklah menggembirakanku jika saja para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berbeda pendapat,” kata Umar bin Abdul Aziz seperti diabadikan dalam Al Inabah Al Kubra dan Faidhul Qadir, “karena jika mereka tidak berbeda pendapat maka tidak akan ada rukhshah atau keringanan.”
"Agar lampu menyala, sambungkan dua kutub kabel yang berbeda" mari kita nyalakan lampu Islam, walau selalu ikhtilaf, jadikan ia sebatas berbeda pendapat, bukan perceraian ukhuwah islamiyah.
permisalan di bawah ini, penulis ibaratkan, karena ikhtilaf adalah kecantikan;
"Jika kau ingin membuat almari, maka gergajilah kayunya"
"Kayu tambah indah, jika diamplas"
Seharusnya ikhtilaf melahirkan persatuan, melahirkan kekuatan ruh, melahirkan keindahan, Islam. Tidak melahirkan arognasi kedirian dan ego sekterian.
Apa contoh perbedaan ikhtilaf dan tafarruq dalam suatu benda? Seperti "kunci pas" memiliki berbagai ukuran, masing-masing dirancang untuk menangani mur atau baut tertentu. Walaupun ukurannya berbeda, semua kunci pas memiliki tujuan yang sama, yaitu mengencangkan atau melonggarkan baut. Ini melambangkan ikhtilaf karena meskipun terdapat perbedaan dalam metode (ukuran alat), semuanya tetap bertujuan untuk mencapai tujuan yang sama dengan cara yang saling melengkapi.
Sedangkan "tafarruq", seperti "gelas pecah", ketika sebuah gelas pecah menjadi beberapa bagian, setiap pecahan menjadi tajam dan berbahaya. Selain itu, pecahan-pecahan tersebut kehilangan fungsinya sebagai gelas utuh yang dapat menampung air. Ini melambangkan tafarruq, di mana perpecahan tidak hanya menyebabkan kehilangan fungsi utama tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi sekitarnya.
Kembali kepada Ikhtilaf atau tafarruq?
MENGADILI KASUS REBUTAN ANAK KUCING
Bukti dalam pengadilan itu tidak hanya saksi, sumpah, ikrar dan dokumen tertulis saja. Tetapi qarā’in/indikasi-indikasi juga bisa menjadi bukti. Di zaman sekarang apa yang dinamakan sidik jari, CCTV, rekaman audio, jejak kaki, rekaman video dan semisalnya bisa dipertimbangkan untuk mencari tahu kebenaran lebih kuat berpihak siapa.
Diriwayatkan kadi Syuraih pernah mengadili hanya dengan qarā’in saja. Tidak harus dengan saksi, sumpah, ikrar atau dokumen tertulis.
Dua wanita bersengketa anak kucing. Masing-masing mengklaim anak kucing itu miliknya. Kadi Syuraih memecahkan sengketa ini dengan simpel. Dua ekor kucing dihadirkan, lalu anak kucing didekatkan. Kepada kucing mana si anak kucing merasa nyaman, berarti itulah induknya.
Ibnu ‘Asākir meriwayatkan,
اختصم إلى شريح في ولد هرة فقالت امرأة هو ولد هرتي وقالت الأخرى هو ولد هرتي فقال شريح ألقها مع هذه فإن هي قرت ودرت واسبطرت فهي لها وإن هي هرت وفرت واقشعرت فليس لها». «تاريخ دمشق لابن عساكر» (23/ 35)
Artinya,
“Terjadi kasus perselisihan yang dilaporkan kepada Syuraiḥ terkait dengan seekor anak kucing. Seorang wanita berkata, “Itu adalah anak kucingku”. Wanita yang lainnya berkata, ‘Itu anak kucingku”. Maka Syuraiḥ berkata, ‘Coba letakkan anak kucing tersebut di dekat induk kucing ini. Kalau induk kucing ini nyaman, mengeluarkan air susunya dan membentangkan putingnya berarti itu memang anaknya. Tapi kalau dia menggeram, lari dan berdiri bulunya karena marah maka berarti dia bukan anaknya” (Tārīkh Dimasyq, juz 23 hlm 35)
Muafa
Bukti dalam pengadilan itu tidak hanya saksi, sumpah, ikrar dan dokumen tertulis saja. Tetapi qarā’in/indikasi-indikasi juga bisa menjadi bukti. Di zaman sekarang apa yang dinamakan sidik jari, CCTV, rekaman audio, jejak kaki, rekaman video dan semisalnya bisa dipertimbangkan untuk mencari tahu kebenaran lebih kuat berpihak siapa.
Diriwayatkan kadi Syuraih pernah mengadili hanya dengan qarā’in saja. Tidak harus dengan saksi, sumpah, ikrar atau dokumen tertulis.
Dua wanita bersengketa anak kucing. Masing-masing mengklaim anak kucing itu miliknya. Kadi Syuraih memecahkan sengketa ini dengan simpel. Dua ekor kucing dihadirkan, lalu anak kucing didekatkan. Kepada kucing mana si anak kucing merasa nyaman, berarti itulah induknya.
Ibnu ‘Asākir meriwayatkan,
اختصم إلى شريح في ولد هرة فقالت امرأة هو ولد هرتي وقالت الأخرى هو ولد هرتي فقال شريح ألقها مع هذه فإن هي قرت ودرت واسبطرت فهي لها وإن هي هرت وفرت واقشعرت فليس لها». «تاريخ دمشق لابن عساكر» (23/ 35)
Artinya,
“Terjadi kasus perselisihan yang dilaporkan kepada Syuraiḥ terkait dengan seekor anak kucing. Seorang wanita berkata, “Itu adalah anak kucingku”. Wanita yang lainnya berkata, ‘Itu anak kucingku”. Maka Syuraiḥ berkata, ‘Coba letakkan anak kucing tersebut di dekat induk kucing ini. Kalau induk kucing ini nyaman, mengeluarkan air susunya dan membentangkan putingnya berarti itu memang anaknya. Tapi kalau dia menggeram, lari dan berdiri bulunya karena marah maka berarti dia bukan anaknya” (Tārīkh Dimasyq, juz 23 hlm 35)
Muafa
Ada satu lagi kisah lucu para ulama kita. Al-Imām Al-Wakī’ bin Al-Jarrāh رحمه الله menceritakan :
صَلَّيْتُ فِي مَسْجِدِ الْكُوفَةِ فَإِذَا أَبُو حَنِيفَةَ قَائِمٌ يُصَلِّي، وَابْنُ الْمُبَارَكِ إِلَى جَنْبِهِ يُصَلِّي، فَإِذَا عَبْدُ اللهِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ كُلَّمَا رَكَعَ وَكُلَّمَا رَفَعَ، وَأَبُو حَنِيفَةَ لَا يَرْفَعُ، فَلَمَّا فَرَغُوا مِنَ الصَّلَاةِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لِعَبْدِ اللهِ: يَا أَبَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ، رَأَيْتُكَ تُكْثِرُ رَفْعَ الْيَدَيْنِ، أَرَدْتَ أَنْ تَطِيرَ؟ قَالَ لَهُ عَبْدُ اللهِ: يَا أَبَا حَنِيفَةَ قَدْ رَأَيْتُكَ تَرْفَعُ يَدَيْكَ حِينَ افْتَتَحْتَ الصَّلَاةَ فَأَرَدْتَ أَنْ تَطِيرَ؟ فَسَكَتَ أَبُو حَنِيفَةَ»
Terjemahan : Suatu hari, aku menunaikan solat di Masjid Kūfah. Di situ terdapatnya Abu Hanīfah sedang solat dan di sebelahnya (‘Abdullah) Ibn Al-Mubārak yang juga sedang solat. ‘Abdullāh (Ibn Al-Mubārak) mengangkat dua tangan beliau setiap kali hendak rukuk dan ketika bangun dari rukuk. Manakala Abu Hanīfah tidak mengangkat dua tangannya. Sebaik sahaja mereka selesai solat, Abu Hanīfah berkata kepada Ibn Al-Mubārak : “Wahai Abu ‘Abd Al-Rahmān, aku tengok kamu banyak angkat dua tangan. Apakah kamu hendak terbang ?”. Ibn Al-Mubārak menjawab : “Wahai Abu Hanīfah. Aku juga telah melihat kamu mengangkat dua tangan apabila kamu memulakan solat (pent. - iaitu ketika takbiratul ihram), apakah kamu hendak terbang ?”. Lalu Abu Hanīfah pun terdiam.
Rujuk Al-Sunan Al-Kubra, Al-Baihaqi (2/117)
✍🏻 Muhammad Fahmi Rusli
صَلَّيْتُ فِي مَسْجِدِ الْكُوفَةِ فَإِذَا أَبُو حَنِيفَةَ قَائِمٌ يُصَلِّي، وَابْنُ الْمُبَارَكِ إِلَى جَنْبِهِ يُصَلِّي، فَإِذَا عَبْدُ اللهِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ كُلَّمَا رَكَعَ وَكُلَّمَا رَفَعَ، وَأَبُو حَنِيفَةَ لَا يَرْفَعُ، فَلَمَّا فَرَغُوا مِنَ الصَّلَاةِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لِعَبْدِ اللهِ: يَا أَبَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ، رَأَيْتُكَ تُكْثِرُ رَفْعَ الْيَدَيْنِ، أَرَدْتَ أَنْ تَطِيرَ؟ قَالَ لَهُ عَبْدُ اللهِ: يَا أَبَا حَنِيفَةَ قَدْ رَأَيْتُكَ تَرْفَعُ يَدَيْكَ حِينَ افْتَتَحْتَ الصَّلَاةَ فَأَرَدْتَ أَنْ تَطِيرَ؟ فَسَكَتَ أَبُو حَنِيفَةَ»
Terjemahan : Suatu hari, aku menunaikan solat di Masjid Kūfah. Di situ terdapatnya Abu Hanīfah sedang solat dan di sebelahnya (‘Abdullah) Ibn Al-Mubārak yang juga sedang solat. ‘Abdullāh (Ibn Al-Mubārak) mengangkat dua tangan beliau setiap kali hendak rukuk dan ketika bangun dari rukuk. Manakala Abu Hanīfah tidak mengangkat dua tangannya. Sebaik sahaja mereka selesai solat, Abu Hanīfah berkata kepada Ibn Al-Mubārak : “Wahai Abu ‘Abd Al-Rahmān, aku tengok kamu banyak angkat dua tangan. Apakah kamu hendak terbang ?”. Ibn Al-Mubārak menjawab : “Wahai Abu Hanīfah. Aku juga telah melihat kamu mengangkat dua tangan apabila kamu memulakan solat (pent. - iaitu ketika takbiratul ihram), apakah kamu hendak terbang ?”. Lalu Abu Hanīfah pun terdiam.
Rujuk Al-Sunan Al-Kubra, Al-Baihaqi (2/117)
✍🏻 Muhammad Fahmi Rusli
permasalahan imamnya berbekam, bukan permasalahan menyentuh kemaluannya, karena mempertimbangkan pada keyakinan makmum. Sebab imam dinyatakan berhadats menurut keyakinan makmum karena menyentuh kemaluan, bukan karena berbekam. Menurut pendapat kedua, berkebalikan dari pendapat pertama (sah dalam permasalahan imamnya menyentuh kemaluan, dan tidak sah dalam persoalan imamnya berbekam), karena mempertimbangkan kepada keyakinan imam,” (Lihat Syekh Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cetakan ketiga, 2011 M, juz I, hal. 332).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum shalatnya makmum yang bermadzhab Syafi’i sebagaimana ditanyakan oleh penanya di atas merupakan ikhtilaf di kalangan ulama. Menurut pendapat kuat, tidak sah. Sementara menurut pendapat lemah, sah.
Kedua pendapat tersebut memiliki tendensi masing-masing. Keduanya dapat diikuti. Saran kami, dalam kondisi tidak terdesak, sebisa mungkin agar makmum memastikan shalatnya imam tidak batal menurut keyakinan yang dianut makmum. Namun apabila kondisinya menuntut agar bermakmum kepada imam yang berbeda madzhab, seperti untuk menjaga keharmonisan hubungan bertetangga, maka tidak ada salahnya mengikuti pendapat kedua dari madzhab Syafi’i yang menghukumi sah sebagaimana penjelasan di atas.
Demikian semoga bermanfaat. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk konsisten menjalankan ibadah. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahu A'lam Bisshawab
Sumber: NU Online
Ali Mahrus
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum shalatnya makmum yang bermadzhab Syafi’i sebagaimana ditanyakan oleh penanya di atas merupakan ikhtilaf di kalangan ulama. Menurut pendapat kuat, tidak sah. Sementara menurut pendapat lemah, sah.
Kedua pendapat tersebut memiliki tendensi masing-masing. Keduanya dapat diikuti. Saran kami, dalam kondisi tidak terdesak, sebisa mungkin agar makmum memastikan shalatnya imam tidak batal menurut keyakinan yang dianut makmum. Namun apabila kondisinya menuntut agar bermakmum kepada imam yang berbeda madzhab, seperti untuk menjaga keharmonisan hubungan bertetangga, maka tidak ada salahnya mengikuti pendapat kedua dari madzhab Syafi’i yang menghukumi sah sebagaimana penjelasan di atas.
Demikian semoga bermanfaat. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk konsisten menjalankan ibadah. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahu A'lam Bisshawab
Sumber: NU Online
Ali Mahrus
HUKUM BERMAKMUM KEPADA IMAM YANG TIDAK MEMBACA BASMALAH
Membaca basmalah dalam Surat Al-Fatihah memang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara ulama. Menurut Madzhab Syafi’I, membaca basmalah di setiap rakaat sebelum membaca Surat Al-Fatihah adalah wajib. Kalangan madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat sunah. Menurut madzhab Maliki, hukumnya makruh sebagai tercantum pada kitab Al-Fiqh alal Madzahibil Arba'ah karya Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, Beirut, Darul Fikr, 2008 M, juz I, hal. 221)
Dalam kaitannya dengan shalat berjama’ah, menurut pendapat kuat dalam madzhab Syafi’i, salah satu yang harus terpenuhi bagi makmum adalah tidak meyakini batal shalat imamnya. Semisal makmum bermadzhab Syafi’i yang meyakini wajibnya basmalah, sedangkan imamnya bermadzhab Hanafi yang meninggalkan bacaan basmalah karena meyakini bahwa basmalah hanya sunah. Dalam kasus tersebut, shalatnya makmum tidak sah.
Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Minhajul Qawim mengatakan sebagai berikut:
(وَأَنْ لَا يَعْتَقِدَ بُطْلَانَهَا) أَيْ بُطْلَانَ صَلَاةِ إِمَامِهِ ...اِلَى اَنْ قَالَ...(كَحَنَفِيٍّ) أَوْ غَيْرِهِ اِقْتَدَى بِهِ شَافِعِيٌّ وَقَدْ (عَلِمَهُ تَرَكَ فَرْضًا) كَالْبَسْمَلَةِ مَا لَمْ يَكُنْ أَمِيْراً أَوِ الطُّمَأْنِيْنَةِ أَوْ أَخَلَّ بِشَرْطٍ كَأَنْ لَمِسَ زَوْجَتَهُ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ فَلَا يَصِحُّ اقْتِدَاءُ الشَّافِعِيِّ بِهِ حِيْنَئِذٍ اِعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ الْمَأْمُوْمِ لِأَنَّهُ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فِيْ صَلَاةٍ
Artinya, “Di antara syarat berjama’ah adalah makmum tidak meyakini batalnya shalat imamnya. Seperti imam yang bermadzhab Hanafi yang diikuti oleh makmum bermadzhab Syafi’i, sementara makmum Syafi’i mengetahui imamnya yang bermadzhab Hanafi meninggalkan kewajiban menurut keyakinannya seperti membaca basmalah atau thuma’ninah, selama imamnya bukan pemimpin. Atau makmum mengetahui imamnya meninggalkan syarat sah shalat seperti memegang istrinya dan langsung shalat tanpa berwudhu’ terlebih dahulu. Maka tidak sah shalatnya makmum yang bermadzhab Syafi’i dalam permasalah ini, karena mempertimbangkan keyakinan makmum, sebab ia meyakini bahwa imamnya tidak berada dalam shalat yang sah,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim Hamisy Hasyiyah At-Tarmasi, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan pertama, 2011, juz III, hal. 700).
Sementara menurut pendapat lemah dari madzhab Syafi’i, permasalahan sahnya berjama’ah dititikberatkan pada keyakinan imamnya, meskipun menurut madzhab yang dianut makmum menghukumi tidak sah. Dalam permasalahan imamnya yang tidak membaca basmalah karena ia bermadzhab Hanafi, sementara makmumnya bermadzhab Syafi’i yang meyakini kewajiban basmalah, maka shalatnya makmum tetap dinyatakan sah. Karena imam sudah benar melakukan tuntunan shalat sesuai dengan madzhab yang dianutnya. Berbeda apabila yang imamnya bermadzhab Hanafi melakukan kesalahan menurut madzhabnya, meskipun menurut madzhab makmumnya bukan merupakan sebuah kesalahan, maka shalatnya makmum tidak sah.
Syekh Al-Khathib As-Syarbini mengatakan:
(وَلَوْ اقْتَدَى شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ) فَعَلَ مُبْطِلًا عِنْدَنَا دُونَهُ كَأَنْ (مَسَّ فَرْجَهُ) أَوْ تَرَكَ الطُّمَأْنِينَةَ أَوْ الْبَسْمَلَةَ أَوْ الْفَاتِحَةَ أَوْ بَعْضَهَا (أَوْ) عِنْدَهُ دُونَنَا كَأَنْ (افْتَصَدَ فَالْأَصَحُّ الصِّحَّةُ) أَيْ صِحَّةُ الِاقْتِدَاءِ (فِي الْفَصْدِ دُونَ الْمَسِّ) وَنَحْوِهِ مِمَّا تَقَدَّمَ (اعْتِبَارًا بِنِيَّةِ) أَيْ اعْتِقَادِ (الْمُقْتَدِي) لِأَنَّهُ مُحْدِثٌ عِنْدَهُ بِالْمَسِّ دُونَ الْفَصْدِ ، وَالثَّانِي عَكْسُ ذَلِكَ اعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ الْمُقْتَدَى بِهِ
Artinya, “Apabila makmum penganut madzhab Syafi’i mengikuti imam penganut madzhab Hanafi yang melakukan perkara yang membatalkan shalat menurut keyakinan makmum, bukan keyakinan imam, seperti memegang kemaluan, meninggalkan thuma’ninah, basmalah, Surat Al-Fatihah atau sebagiannya, atau jika imam melakukan perkara yang membatalkan menurut keyakinannya, bukan menurut keyakinan makmum, seperti berbekam (menurut madzhab Hanafi dapat membatalkan wudhu’, sementara menurut madzhab Syafi’i tidak membatalkan), maka menurut pendapat kuat shalat jama’ahnya makmum sah dalam
Membaca basmalah dalam Surat Al-Fatihah memang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara ulama. Menurut Madzhab Syafi’I, membaca basmalah di setiap rakaat sebelum membaca Surat Al-Fatihah adalah wajib. Kalangan madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat sunah. Menurut madzhab Maliki, hukumnya makruh sebagai tercantum pada kitab Al-Fiqh alal Madzahibil Arba'ah karya Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, Beirut, Darul Fikr, 2008 M, juz I, hal. 221)
Dalam kaitannya dengan shalat berjama’ah, menurut pendapat kuat dalam madzhab Syafi’i, salah satu yang harus terpenuhi bagi makmum adalah tidak meyakini batal shalat imamnya. Semisal makmum bermadzhab Syafi’i yang meyakini wajibnya basmalah, sedangkan imamnya bermadzhab Hanafi yang meninggalkan bacaan basmalah karena meyakini bahwa basmalah hanya sunah. Dalam kasus tersebut, shalatnya makmum tidak sah.
Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Minhajul Qawim mengatakan sebagai berikut:
(وَأَنْ لَا يَعْتَقِدَ بُطْلَانَهَا) أَيْ بُطْلَانَ صَلَاةِ إِمَامِهِ ...اِلَى اَنْ قَالَ...(كَحَنَفِيٍّ) أَوْ غَيْرِهِ اِقْتَدَى بِهِ شَافِعِيٌّ وَقَدْ (عَلِمَهُ تَرَكَ فَرْضًا) كَالْبَسْمَلَةِ مَا لَمْ يَكُنْ أَمِيْراً أَوِ الطُّمَأْنِيْنَةِ أَوْ أَخَلَّ بِشَرْطٍ كَأَنْ لَمِسَ زَوْجَتَهُ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ فَلَا يَصِحُّ اقْتِدَاءُ الشَّافِعِيِّ بِهِ حِيْنَئِذٍ اِعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ الْمَأْمُوْمِ لِأَنَّهُ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فِيْ صَلَاةٍ
Artinya, “Di antara syarat berjama’ah adalah makmum tidak meyakini batalnya shalat imamnya. Seperti imam yang bermadzhab Hanafi yang diikuti oleh makmum bermadzhab Syafi’i, sementara makmum Syafi’i mengetahui imamnya yang bermadzhab Hanafi meninggalkan kewajiban menurut keyakinannya seperti membaca basmalah atau thuma’ninah, selama imamnya bukan pemimpin. Atau makmum mengetahui imamnya meninggalkan syarat sah shalat seperti memegang istrinya dan langsung shalat tanpa berwudhu’ terlebih dahulu. Maka tidak sah shalatnya makmum yang bermadzhab Syafi’i dalam permasalah ini, karena mempertimbangkan keyakinan makmum, sebab ia meyakini bahwa imamnya tidak berada dalam shalat yang sah,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim Hamisy Hasyiyah At-Tarmasi, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan pertama, 2011, juz III, hal. 700).
Sementara menurut pendapat lemah dari madzhab Syafi’i, permasalahan sahnya berjama’ah dititikberatkan pada keyakinan imamnya, meskipun menurut madzhab yang dianut makmum menghukumi tidak sah. Dalam permasalahan imamnya yang tidak membaca basmalah karena ia bermadzhab Hanafi, sementara makmumnya bermadzhab Syafi’i yang meyakini kewajiban basmalah, maka shalatnya makmum tetap dinyatakan sah. Karena imam sudah benar melakukan tuntunan shalat sesuai dengan madzhab yang dianutnya. Berbeda apabila yang imamnya bermadzhab Hanafi melakukan kesalahan menurut madzhabnya, meskipun menurut madzhab makmumnya bukan merupakan sebuah kesalahan, maka shalatnya makmum tidak sah.
Syekh Al-Khathib As-Syarbini mengatakan:
(وَلَوْ اقْتَدَى شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ) فَعَلَ مُبْطِلًا عِنْدَنَا دُونَهُ كَأَنْ (مَسَّ فَرْجَهُ) أَوْ تَرَكَ الطُّمَأْنِينَةَ أَوْ الْبَسْمَلَةَ أَوْ الْفَاتِحَةَ أَوْ بَعْضَهَا (أَوْ) عِنْدَهُ دُونَنَا كَأَنْ (افْتَصَدَ فَالْأَصَحُّ الصِّحَّةُ) أَيْ صِحَّةُ الِاقْتِدَاءِ (فِي الْفَصْدِ دُونَ الْمَسِّ) وَنَحْوِهِ مِمَّا تَقَدَّمَ (اعْتِبَارًا بِنِيَّةِ) أَيْ اعْتِقَادِ (الْمُقْتَدِي) لِأَنَّهُ مُحْدِثٌ عِنْدَهُ بِالْمَسِّ دُونَ الْفَصْدِ ، وَالثَّانِي عَكْسُ ذَلِكَ اعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ الْمُقْتَدَى بِهِ
Artinya, “Apabila makmum penganut madzhab Syafi’i mengikuti imam penganut madzhab Hanafi yang melakukan perkara yang membatalkan shalat menurut keyakinan makmum, bukan keyakinan imam, seperti memegang kemaluan, meninggalkan thuma’ninah, basmalah, Surat Al-Fatihah atau sebagiannya, atau jika imam melakukan perkara yang membatalkan menurut keyakinannya, bukan menurut keyakinan makmum, seperti berbekam (menurut madzhab Hanafi dapat membatalkan wudhu’, sementara menurut madzhab Syafi’i tidak membatalkan), maka menurut pendapat kuat shalat jama’ahnya makmum sah dalam
Biasanya saya sungguh-sungguh berdoa Ba'da ashar di hari jum'at sebelum matahari Ghurub.
Berdasarkan pembacaan saya pada riwayat atau hadits-hadits serta Atsar ulama yang menyebutkan waktu ini mustajab.
Waktu kedua yang saya banyak berdoa adalah setelah selesai makan, karena hadits ;
ان الله ليرضى عن العبد ان ياكل الاكله فيحمده عليها او يشرب شربه فيحمده عليها
Allah Ridho pada seorang hamba yang setelah makan memujiNya atas karunia makan dan minum.
Bayangkan mendapatkan keridhoan Allah hanya karena makan, seakan-akan kedudukan kita sudah setara dengan sahabat Nabi yang Allah meridhoi mereka, karena hijrahnya, jihadnya, persahabatannya dan keimanan serta kecintaannya pada NabiNya.
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
Berdoa pada saat Allah sedang Ridho pada kita, sudah pasti Allah akan ijabah.
Seperti Engkau meminta pada ayahmu sesuatu setelah Engkau juara 1 dan Ayahmu sangat senang denganmu, sangat besar untuk dikabulkan.
Saya juga berdoa pada waktu perjalanan/safar dan disaat tertimpa kesulitan, karena di waktu tersebut saya bisa menahan/bersabar atas apa yang menjadi ketetapanNya.
Allah mengatakan pada orang-orang yang sabar " Allah bersama orang-orang yang sabar"
ان الله مع الصابرين
Bayangkan Anda orang paling kaya di dunia, paling dermawan dan paling ingin menyenangkan semua orang, kemudian Anda mendapati seorang kesusahan yang menjaga dirinya dari mengemis, tetap mau berusaha, Hati Anda mengatakan orang seperti ini " Tipe saya banget", tahan banting dan sabar,.
Kemudian Anda memberikan santunan untuknya.
Allah lebih utama berbuat demikian ketimbang Anda, Allah cemburu kalau ada hamba yang lebih pemurah ketimbang Dia.
Dan bayangkan, Anda bersama Allah ketika Anda bersabar.
Aly Raihan
Berdasarkan pembacaan saya pada riwayat atau hadits-hadits serta Atsar ulama yang menyebutkan waktu ini mustajab.
Waktu kedua yang saya banyak berdoa adalah setelah selesai makan, karena hadits ;
ان الله ليرضى عن العبد ان ياكل الاكله فيحمده عليها او يشرب شربه فيحمده عليها
Allah Ridho pada seorang hamba yang setelah makan memujiNya atas karunia makan dan minum.
Bayangkan mendapatkan keridhoan Allah hanya karena makan, seakan-akan kedudukan kita sudah setara dengan sahabat Nabi yang Allah meridhoi mereka, karena hijrahnya, jihadnya, persahabatannya dan keimanan serta kecintaannya pada NabiNya.
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
Berdoa pada saat Allah sedang Ridho pada kita, sudah pasti Allah akan ijabah.
Seperti Engkau meminta pada ayahmu sesuatu setelah Engkau juara 1 dan Ayahmu sangat senang denganmu, sangat besar untuk dikabulkan.
Saya juga berdoa pada waktu perjalanan/safar dan disaat tertimpa kesulitan, karena di waktu tersebut saya bisa menahan/bersabar atas apa yang menjadi ketetapanNya.
Allah mengatakan pada orang-orang yang sabar " Allah bersama orang-orang yang sabar"
ان الله مع الصابرين
Bayangkan Anda orang paling kaya di dunia, paling dermawan dan paling ingin menyenangkan semua orang, kemudian Anda mendapati seorang kesusahan yang menjaga dirinya dari mengemis, tetap mau berusaha, Hati Anda mengatakan orang seperti ini " Tipe saya banget", tahan banting dan sabar,.
Kemudian Anda memberikan santunan untuknya.
Allah lebih utama berbuat demikian ketimbang Anda, Allah cemburu kalau ada hamba yang lebih pemurah ketimbang Dia.
Dan bayangkan, Anda bersama Allah ketika Anda bersabar.
Aly Raihan
*Begitu juga sebaliknya,* kalau ada orang yang fasik minta sedekah yang berarti ia tidak akan mendapat pahala, maka ia juga tidak akan bersedekah hanya untuk dipuji manusia. Tapi ketika kedua motif ini berkumpul; dapat pahala dan dipuji, maka ia mau bersedekah.
*Niat ketiga* ini disebut dengan *musyarik.*
4️⃣ *Keempat,* ada dua motif. Yang satu tetap bisa melahirkan perbuatan meskipun tanpa bantuan yang kedua. *Tapi dengan adanya bantuan yang kedua, sebuah perbuatan terasa lebih ringan dan mudah* untuk dilakukan.
*Contoh dalam keseharian:* seorang yang kuat dibantu oleh orang yang lemah mengangkat sebuah benda. Tidak ada pun bantuan orang lemah ini, si kuat tetap bisa mengangkat benda itu sendirian. Tapi dengan adanya bantuan si lemah, proses mengangkat benda terasa lebih mudah dan ringan.
*Contoh dalam ketaatan:* seseorang *punya wirid zikir atau kebiasaan bersedekah*. Ketika ia akan melakukan zikir atau mengeluarkan sedekah, *kebetulan ada orang yang melihat.* Akhirnya *wirid zikir itu terasa lebih mudah (bersemangat) untuk dilakukan*, dan sedekah itu terasa lebih ringan untuk dikeluarkan. *Sebenarnya, tidak pun ada orang yang melihat*, ia akan tetap berzikir atau bersedekah. *Tapi adanya orang yang melihat,* membuat *amalnya terasa lebih ringan* dan mudah dikerjakan.
*Niat yang keempat ini disebut dengan mu’in.*
⭕ *Dari keempat kondisi ini* hanya *kondisi pertama* yang bisa disebut sebagai *amal yang ikhlas.*
*Tapi apakah amal dalam tiga kondisi lainnya langsung tertolak?* Ada pembahasan lain untuk menjawabnya.
والله أعلم وأحكم
[YJ]
*Niat ketiga* ini disebut dengan *musyarik.*
4️⃣ *Keempat,* ada dua motif. Yang satu tetap bisa melahirkan perbuatan meskipun tanpa bantuan yang kedua. *Tapi dengan adanya bantuan yang kedua, sebuah perbuatan terasa lebih ringan dan mudah* untuk dilakukan.
*Contoh dalam keseharian:* seorang yang kuat dibantu oleh orang yang lemah mengangkat sebuah benda. Tidak ada pun bantuan orang lemah ini, si kuat tetap bisa mengangkat benda itu sendirian. Tapi dengan adanya bantuan si lemah, proses mengangkat benda terasa lebih mudah dan ringan.
*Contoh dalam ketaatan:* seseorang *punya wirid zikir atau kebiasaan bersedekah*. Ketika ia akan melakukan zikir atau mengeluarkan sedekah, *kebetulan ada orang yang melihat.* Akhirnya *wirid zikir itu terasa lebih mudah (bersemangat) untuk dilakukan*, dan sedekah itu terasa lebih ringan untuk dikeluarkan. *Sebenarnya, tidak pun ada orang yang melihat*, ia akan tetap berzikir atau bersedekah. *Tapi adanya orang yang melihat,* membuat *amalnya terasa lebih ringan* dan mudah dikerjakan.
*Niat yang keempat ini disebut dengan mu’in.*
⭕ *Dari keempat kondisi ini* hanya *kondisi pertama* yang bisa disebut sebagai *amal yang ikhlas.*
*Tapi apakah amal dalam tiga kondisi lainnya langsung tertolak?* Ada pembahasan lain untuk menjawabnya.
والله أعلم وأحكم
[YJ]
TELAAH 📒
*Belajar Tentang Niat*
_(Tahu, Mau, Mampu & Motif beramal)_
Menarik mengikuti *bahasan tentang niat* dalam kitab Ihya` Ulumiddin. Imam al-Ghazali memang sangat *piawai memberikan berbagai permisalan* sehingga sesuatu *yang abstrak* terlihat *kongkrit* dan terang.
Beliau menjelaskan bahwa *setiap perbuatan* didahului oleh tiga hal; *tahu, mau*, dan *mampu*.
Meskipun *ada makanan yang lezat,* tapi *orang yang tak tahu* bahwa ada makanan *tentu tidak akan menyantap makanan itu.* Seseorang tidak akan lari dari api kalau ia tidak melihat ada api.
*Ini yang dimaksud dengan tahu.*
Meskipun *seseorang tahu ada makanan*, tahu juga kalau makanan itu bermanfaat bagi tubuhnya, *tapi ia tidak akan menyantap makanan itu* kalau ia *tak ada keinginan atau hasrat*. Seperti halnya orang yang sakit. Meskipun makanan tersedia dan ia tahu makanan itu bergizi, ia tidak menyantapnya karena tidak ada selera atau nafsu makan.
*Ini yang dimaksud dengan mau.*
*Tahu dan mau* saja juga *belum cukup*. Ada orang yang *tahu ada makanan* dan *punya hasrat untuk memakan* tapi *giginya tak mampu mengunyah,* pencernaannya bermasalah, dan sebagainya.
*Ini yang dimaksud dengan mampu.*
Tubuh *tidak bergerak* kecuali *kalau ada kemampuan*. Kemampuan tidak akan bangkit kalau tidak ada keinginan. *Keinginan tidak akan muncul kalau tidak ada pengetahuan.*
Kemampuan pelayan bagi kemauan, dan kemauan mengikut pada pengetahuan.
القدرة خادمة للإرادة والإرادة تابعة للعلم
_*Niat* adalah *sesuatu yang menghubungkan* antara *ilmu* dan *kemampuan.*_
☝️Hanya saja, *kemampuan yang akan bangkit* untuk *melakukan sebuah perbuatan* adakalanya *didorong* oleh *satu motif* atau *dua motif yang bergabung jadi satu.* Yang dua motif ini ada sama-sama kuat, dimana kalau yang ada hanya satu, itu sudah cukup untuk melahirkan sebuah perbuatan. Hanya saja ia akan terbantu dengan adanya yang kedua. Tapi ada juga yang sama-sama lemah, dimana kalau yang ada hanya satu saja, ia tidak akan kuat untuk melahirkan sebuah perbuatan.
*Jadi*, ada *empat kondisi dalam hal ini.*
1️⃣ *Pertama*, perbuatan yang lahir karena *satu motif tunggal saja*. Ini seperti seseorang yang sedang dihadang oleh harimau. Ketika ia berusaha untuk lari atau menghindar, *motifnya hanya satu*: ingin selamat. Motif yang tunggal inilah yang disebut dengan *motif murni (khalis)*. Perbuatan yang muncul dari motif tunggal *ini disebut* dengan *amal yang ikhlas.*
2️⃣ *Kedua*, ada dua motif. Kedua-duanya *sama-sama kuat.* Seandainya hanya ada satu saja sebenarnya tetap bisa melahirkan perbuatan. *Tapi dengan adanya motif kedua maka menjadi lebih mudah.*
Contoh dalam dunia nyata: *dua orang yang saling membantu untuk mengangkat sebuah benda.* Sebenarnya masing-masing dari mereka bisa mengangkat benda itu sendirian. *Tapi dengan adanya orang kedua*, maka pekerjaan mengangkat terasa lebih ringan.
*Contoh dalam ketaatan:* ada seorang kerabat minta bantuan. *Kerabat ini orang miskin*. Maka kita pun membantunya. Karena kekerabatan dan kemiskinannya. *Artinya,* kalau pun ia bukan kerabat kita, tapi ia orang miskin, kita akan tetap membantunya. Atau ia orang kaya tapi ia kerabat kita, maka kita juga akan membantunya.
Imam al-Ghazali menyebut *niat kedua* ini dengan istilah *rafiq.*
3️⃣ *Ketiga,* ada dua motif. Tapi keduanya sama-sama lemah. Jika sendirian, ia tidak akan kuat melahirkan sebuah perbuatan.
*Contohnya*: dua orang yang sama-sama lemah saling membantu mengangkat sebuah benda. Kalau sendirian ia tidak akan mampu mengangkat benda itu.
*Contoh dalam ketaatan:* seorang kerabat minta uang, tapi ia kaya. Atau, seorang miskin minta sedekah tapi ia bukan kerabatnya. Maka ia tidak memberinya. Ia baru akan memberi uang atau sedekah kalau berkumpul dua hal ini; kerabat dan miskin.
*Contoh lain*: seseorang bersedekah di depan orang banyak dengan tujuan mendapat pahala sekaligus pujian. Artinya, kalau tidak ada orang yang melihat sehingga ia tidak akan dipuji maka ia tidak akan bersedekah ‘sekedar’ untuk mengharapkan pahala.
*Belajar Tentang Niat*
_(Tahu, Mau, Mampu & Motif beramal)_
Menarik mengikuti *bahasan tentang niat* dalam kitab Ihya` Ulumiddin. Imam al-Ghazali memang sangat *piawai memberikan berbagai permisalan* sehingga sesuatu *yang abstrak* terlihat *kongkrit* dan terang.
Beliau menjelaskan bahwa *setiap perbuatan* didahului oleh tiga hal; *tahu, mau*, dan *mampu*.
Meskipun *ada makanan yang lezat,* tapi *orang yang tak tahu* bahwa ada makanan *tentu tidak akan menyantap makanan itu.* Seseorang tidak akan lari dari api kalau ia tidak melihat ada api.
*Ini yang dimaksud dengan tahu.*
Meskipun *seseorang tahu ada makanan*, tahu juga kalau makanan itu bermanfaat bagi tubuhnya, *tapi ia tidak akan menyantap makanan itu* kalau ia *tak ada keinginan atau hasrat*. Seperti halnya orang yang sakit. Meskipun makanan tersedia dan ia tahu makanan itu bergizi, ia tidak menyantapnya karena tidak ada selera atau nafsu makan.
*Ini yang dimaksud dengan mau.*
*Tahu dan mau* saja juga *belum cukup*. Ada orang yang *tahu ada makanan* dan *punya hasrat untuk memakan* tapi *giginya tak mampu mengunyah,* pencernaannya bermasalah, dan sebagainya.
*Ini yang dimaksud dengan mampu.*
Tubuh *tidak bergerak* kecuali *kalau ada kemampuan*. Kemampuan tidak akan bangkit kalau tidak ada keinginan. *Keinginan tidak akan muncul kalau tidak ada pengetahuan.*
Kemampuan pelayan bagi kemauan, dan kemauan mengikut pada pengetahuan.
القدرة خادمة للإرادة والإرادة تابعة للعلم
_*Niat* adalah *sesuatu yang menghubungkan* antara *ilmu* dan *kemampuan.*_
☝️Hanya saja, *kemampuan yang akan bangkit* untuk *melakukan sebuah perbuatan* adakalanya *didorong* oleh *satu motif* atau *dua motif yang bergabung jadi satu.* Yang dua motif ini ada sama-sama kuat, dimana kalau yang ada hanya satu, itu sudah cukup untuk melahirkan sebuah perbuatan. Hanya saja ia akan terbantu dengan adanya yang kedua. Tapi ada juga yang sama-sama lemah, dimana kalau yang ada hanya satu saja, ia tidak akan kuat untuk melahirkan sebuah perbuatan.
*Jadi*, ada *empat kondisi dalam hal ini.*
1️⃣ *Pertama*, perbuatan yang lahir karena *satu motif tunggal saja*. Ini seperti seseorang yang sedang dihadang oleh harimau. Ketika ia berusaha untuk lari atau menghindar, *motifnya hanya satu*: ingin selamat. Motif yang tunggal inilah yang disebut dengan *motif murni (khalis)*. Perbuatan yang muncul dari motif tunggal *ini disebut* dengan *amal yang ikhlas.*
2️⃣ *Kedua*, ada dua motif. Kedua-duanya *sama-sama kuat.* Seandainya hanya ada satu saja sebenarnya tetap bisa melahirkan perbuatan. *Tapi dengan adanya motif kedua maka menjadi lebih mudah.*
Contoh dalam dunia nyata: *dua orang yang saling membantu untuk mengangkat sebuah benda.* Sebenarnya masing-masing dari mereka bisa mengangkat benda itu sendirian. *Tapi dengan adanya orang kedua*, maka pekerjaan mengangkat terasa lebih ringan.
*Contoh dalam ketaatan:* ada seorang kerabat minta bantuan. *Kerabat ini orang miskin*. Maka kita pun membantunya. Karena kekerabatan dan kemiskinannya. *Artinya,* kalau pun ia bukan kerabat kita, tapi ia orang miskin, kita akan tetap membantunya. Atau ia orang kaya tapi ia kerabat kita, maka kita juga akan membantunya.
Imam al-Ghazali menyebut *niat kedua* ini dengan istilah *rafiq.*
3️⃣ *Ketiga,* ada dua motif. Tapi keduanya sama-sama lemah. Jika sendirian, ia tidak akan kuat melahirkan sebuah perbuatan.
*Contohnya*: dua orang yang sama-sama lemah saling membantu mengangkat sebuah benda. Kalau sendirian ia tidak akan mampu mengangkat benda itu.
*Contoh dalam ketaatan:* seorang kerabat minta uang, tapi ia kaya. Atau, seorang miskin minta sedekah tapi ia bukan kerabatnya. Maka ia tidak memberinya. Ia baru akan memberi uang atau sedekah kalau berkumpul dua hal ini; kerabat dan miskin.
*Contoh lain*: seseorang bersedekah di depan orang banyak dengan tujuan mendapat pahala sekaligus pujian. Artinya, kalau tidak ada orang yang melihat sehingga ia tidak akan dipuji maka ia tidak akan bersedekah ‘sekedar’ untuk mengharapkan pahala.
Begitu juga sebaliknya, kalau ada orang yang fasik minta sedekah yang berarti ia tidak akan mendapat pahala, maka ia juga tidak akan bersedekah hanya untuk dipuji manusia. Tapi ketika kedua motif ini berkumpul; dapat pahala dan dipuji, maka ia mau bersedekah.
Niat kedua ini disebut dengan musyarik.
Keempat, ada dua motif. Yang satu tetap bisa melahirkan perbuatan meskipun tanpa bantuan yang kedua. Tapi dengan adanya bantuan yang kedua, sebuah perbuatan terasa lebih ringan dan mudah untuk dilakukan.
Contoh dalam keseharian: seorang yang kuat dibantu oleh orang yang lemah mengangkat sebuah benda. Tidak ada pun bantuan orang lemah ini, si kuat tetap bisa mengangkat benda itu sendirian. Tapi dengan adanya bantuan si lemah, proses mengangkat benda terasa lebih mudah dan ringan.
Contoh dalam ketaatan: seseorang punya wirid zikir atau kebiasaan bersedekah. Ketika ia akan melakukan zikir atau mengeluarkan sedekah, kebetulan ada orang yang melihat. Akhirnya wirid zikir itu terasa lebih mudah (bersemangat) untuk dilakukan, dan sedekah itu terasa lebih ringan untuk dikeluarkan. Sebenarnya, tidak pun ada orang yang melihat, ia akan tetap berzikir atau bersedekah. Tapi adanya orang yang melihat, membuat amalnya terasa lebih ringan dan mudah dikerjakan.
Niat yang kedua ini disebut dengan mu’in.
Dari keempat kondisi ini hanya kondisi pertama yang bisa disebut sebagai amal yang ikhlas.
Tapi apakah amal dalam tiga kondisi lainnya langsung tertolak? Ada pembahasan lain untuk menjawabnya.
والله أعلم وأحكم
[YJ]
Niat kedua ini disebut dengan musyarik.
Keempat, ada dua motif. Yang satu tetap bisa melahirkan perbuatan meskipun tanpa bantuan yang kedua. Tapi dengan adanya bantuan yang kedua, sebuah perbuatan terasa lebih ringan dan mudah untuk dilakukan.
Contoh dalam keseharian: seorang yang kuat dibantu oleh orang yang lemah mengangkat sebuah benda. Tidak ada pun bantuan orang lemah ini, si kuat tetap bisa mengangkat benda itu sendirian. Tapi dengan adanya bantuan si lemah, proses mengangkat benda terasa lebih mudah dan ringan.
Contoh dalam ketaatan: seseorang punya wirid zikir atau kebiasaan bersedekah. Ketika ia akan melakukan zikir atau mengeluarkan sedekah, kebetulan ada orang yang melihat. Akhirnya wirid zikir itu terasa lebih mudah (bersemangat) untuk dilakukan, dan sedekah itu terasa lebih ringan untuk dikeluarkan. Sebenarnya, tidak pun ada orang yang melihat, ia akan tetap berzikir atau bersedekah. Tapi adanya orang yang melihat, membuat amalnya terasa lebih ringan dan mudah dikerjakan.
Niat yang kedua ini disebut dengan mu’in.
Dari keempat kondisi ini hanya kondisi pertama yang bisa disebut sebagai amal yang ikhlas.
Tapi apakah amal dalam tiga kondisi lainnya langsung tertolak? Ada pembahasan lain untuk menjawabnya.
والله أعلم وأحكم
[YJ]
Belajar Tentang Niat
Menarik mengikuti bahasan tentang niat dalam kitab Ihya` Ulumiddin. Imam al-Ghazali memang sangat piawai memberikan berbagai permisalan sehingga sesuatu yang abstrak terlihat kongkrit dan terang.
Beliau menjelaskan bahwa setiap perbuatan didahului oleh tiga hal; tahu, mau, dan mampu.
Meskipun ada makanan yang lezat, tapi orang yang tak tahu bahwa ada makanan tentu tidak akan menyantap makanan itu. Seseorang tidak akan lari dari api kalau ia tidak melihat ada api.
Ini yang dimaksud dengan tahu.
Meskipun seseorang tahu ada makanan, tahu juga kalau makanan itu bermanfaat bagi tubuhnya, tapi ia tidak akan menyantap makanan itu kalau ia tak ada keinginan atau hasrat. Seperti halnya orang yang sakit. Meskipun makanan tersedia dan ia tahu makanan itu bergizi, ia tidak menyantapnya karena tidak ada selera atau nafsu makan.
Ini yang dimaksud dengan mau.
Tahu dan mau saja juga belum cukup. Ada orang yang tahu ada makanan dan punya hasrat untuk memakan tapi giginya tak mampu mengunyah, pencernaannya bermasalah, dan sebagainya.
Ini yang dimaksud dengan mampu.
Tubuh tidak bergerak kecuali kalau ada kemampuan. Kemampuan tidak akan bangkit kalau tidak ada keinginan. Keinginan tidak akan muncul kalau tidak ada pengetahuan.
Kemampuan pelayan bagi kemauan, dan kemauan mengikut pada pengetahuan.
القدرة خادمة للإرادة والإرادة تابعة للعلم
Niat adalah sesuatu yang menghubungkan antara ilmu dan kemampuan.
Hanya saja, kemampuan yang akan bangkit untuk melakukan sebuah perbuatan adakalanya didorong oleh satu motif atau dua motif yang bergabung jadi satu. Yang dua motif ini ada sama-sama kuat, dimana kalau yang ada hanya satu, itu sudah cukup untuk melahirkan sebuah perbuatan. Hanya saja ia akan terbantu dengan adanya yang kedua. Tapi ada juga yang sama-sama lemah, dimana kalau yang ada hanya satu saja, ia tidak akan kuat untuk melahirkan sebuah perbuatan.
Jadi, ada empat kondisi dalam hal ini.
Pertama, perbuatan yang lahir karena satu motif tunggal saja. Ini seperti seseorang yang sedang dihadang oleh harimau. Ketika ia berusaha untuk lari atau menghindar, motifnya hanya satu: ingin selamat. Motif yang tunggal inilah yang disebut dengan motif murni (khalis). Perbuatan yang muncul dari motif tunggal ini disebut dengan amal yang ikhlas.
Kedua, ada dua motif. Kedua-duanya sama-sama kuat. Seandainya hanya ada satu saja sebenarnya tetap bisa melahirkan perbuatan. Tapi dengan adanya motif kedua maka menjadi lebih mudah.
Contoh dalam dunia nyata: dua orang yang saling membantu untuk mengangkat sebuah benda. Sebenarnya masing-masing dari mereka bisa mengangkat benda itu sendirian. Tapi dengan adanya orang kedua, maka pekerjaan mengangkat terasa lebih ringan.
Contoh dalam ketaatan: ada seorang kerabat minta bantuan. Kerabat ini orang miskin. Maka kita pun membantunya. Karena kekerabatan dan kemiskinannya. Artinya, kalau pun ia bukan kerabat kita, tapi ia orang miskin, kita akan tetap membantunya. Atau ia orang kaya tapi ia kerabat kita, maka kita juga akan membantunya.
Imam al-Ghazali menyebut niat kedua ini dengan istilah rafiq.
Ketiga, ada dua motif. Tapi keduanya sama-sama lemah. Jika sendirian, ia tidak akan kuat melahirkan sebuah perbuatan.
Contohnya: dua orang yang sama-sama lemah saling membantu mengangkat sebuah benda. Kalau sendirian ia tidak akan mampu mengangkat benda itu.
Contoh dalam ketaatan: seorang kerabat minta uang, tapi ia kaya. Atau, seorang miskin minta sedekah tapi ia bukan kerabatnya. Maka ia tidak memberinya. Ia baru akan memberi uang atau sedekah kalau berkumpul dua hal ini; kerabat dan miskin.
Contoh lain: seseorang bersedekah di depan orang banyak dengan tujuan mendapat pahala sekaligus pujian. Artinya, kalau tidak ada orang yang melihat sehingga ia tidak akan dipuji maka ia tidak akan bersedekah ‘sekedar’ untuk mengharapkan pahala.
Menarik mengikuti bahasan tentang niat dalam kitab Ihya` Ulumiddin. Imam al-Ghazali memang sangat piawai memberikan berbagai permisalan sehingga sesuatu yang abstrak terlihat kongkrit dan terang.
Beliau menjelaskan bahwa setiap perbuatan didahului oleh tiga hal; tahu, mau, dan mampu.
Meskipun ada makanan yang lezat, tapi orang yang tak tahu bahwa ada makanan tentu tidak akan menyantap makanan itu. Seseorang tidak akan lari dari api kalau ia tidak melihat ada api.
Ini yang dimaksud dengan tahu.
Meskipun seseorang tahu ada makanan, tahu juga kalau makanan itu bermanfaat bagi tubuhnya, tapi ia tidak akan menyantap makanan itu kalau ia tak ada keinginan atau hasrat. Seperti halnya orang yang sakit. Meskipun makanan tersedia dan ia tahu makanan itu bergizi, ia tidak menyantapnya karena tidak ada selera atau nafsu makan.
Ini yang dimaksud dengan mau.
Tahu dan mau saja juga belum cukup. Ada orang yang tahu ada makanan dan punya hasrat untuk memakan tapi giginya tak mampu mengunyah, pencernaannya bermasalah, dan sebagainya.
Ini yang dimaksud dengan mampu.
Tubuh tidak bergerak kecuali kalau ada kemampuan. Kemampuan tidak akan bangkit kalau tidak ada keinginan. Keinginan tidak akan muncul kalau tidak ada pengetahuan.
Kemampuan pelayan bagi kemauan, dan kemauan mengikut pada pengetahuan.
القدرة خادمة للإرادة والإرادة تابعة للعلم
Niat adalah sesuatu yang menghubungkan antara ilmu dan kemampuan.
Hanya saja, kemampuan yang akan bangkit untuk melakukan sebuah perbuatan adakalanya didorong oleh satu motif atau dua motif yang bergabung jadi satu. Yang dua motif ini ada sama-sama kuat, dimana kalau yang ada hanya satu, itu sudah cukup untuk melahirkan sebuah perbuatan. Hanya saja ia akan terbantu dengan adanya yang kedua. Tapi ada juga yang sama-sama lemah, dimana kalau yang ada hanya satu saja, ia tidak akan kuat untuk melahirkan sebuah perbuatan.
Jadi, ada empat kondisi dalam hal ini.
Pertama, perbuatan yang lahir karena satu motif tunggal saja. Ini seperti seseorang yang sedang dihadang oleh harimau. Ketika ia berusaha untuk lari atau menghindar, motifnya hanya satu: ingin selamat. Motif yang tunggal inilah yang disebut dengan motif murni (khalis). Perbuatan yang muncul dari motif tunggal ini disebut dengan amal yang ikhlas.
Kedua, ada dua motif. Kedua-duanya sama-sama kuat. Seandainya hanya ada satu saja sebenarnya tetap bisa melahirkan perbuatan. Tapi dengan adanya motif kedua maka menjadi lebih mudah.
Contoh dalam dunia nyata: dua orang yang saling membantu untuk mengangkat sebuah benda. Sebenarnya masing-masing dari mereka bisa mengangkat benda itu sendirian. Tapi dengan adanya orang kedua, maka pekerjaan mengangkat terasa lebih ringan.
Contoh dalam ketaatan: ada seorang kerabat minta bantuan. Kerabat ini orang miskin. Maka kita pun membantunya. Karena kekerabatan dan kemiskinannya. Artinya, kalau pun ia bukan kerabat kita, tapi ia orang miskin, kita akan tetap membantunya. Atau ia orang kaya tapi ia kerabat kita, maka kita juga akan membantunya.
Imam al-Ghazali menyebut niat kedua ini dengan istilah rafiq.
Ketiga, ada dua motif. Tapi keduanya sama-sama lemah. Jika sendirian, ia tidak akan kuat melahirkan sebuah perbuatan.
Contohnya: dua orang yang sama-sama lemah saling membantu mengangkat sebuah benda. Kalau sendirian ia tidak akan mampu mengangkat benda itu.
Contoh dalam ketaatan: seorang kerabat minta uang, tapi ia kaya. Atau, seorang miskin minta sedekah tapi ia bukan kerabatnya. Maka ia tidak memberinya. Ia baru akan memberi uang atau sedekah kalau berkumpul dua hal ini; kerabat dan miskin.
Contoh lain: seseorang bersedekah di depan orang banyak dengan tujuan mendapat pahala sekaligus pujian. Artinya, kalau tidak ada orang yang melihat sehingga ia tidak akan dipuji maka ia tidak akan bersedekah ‘sekedar’ untuk mengharapkan pahala.
Melanjutkan yang sebelumnya (https://www.facebook.com/share/p/1D57xpAGTL/), ini tulisan kedua mengenai Akidah, yaitu mengenai Keimanan terhadap Takdir. Saya kutipan sajiannya yang ini sebagai berikut:
//
ARTI MENGIMANI TAKDIR MENURUT AHLUSSUNNAH
1. Meyakini bahwa Allah Ta'ala secara azali telah mengetahui semua ciptaan-Nya dan semua perbuatan dan keadaan mereka, baik yang berupa ketaatan, kemaksiatan, rizki, ajal, kebahagiaan, maupun kesengsaraan.
2. Meyakini bahwa Allah Ta'ala telah mencatat hal itu dan menuliskannya di Lauh Mahfuzh (Lembaran yang Terjaga) .. Atau sebagaimana sabda Nabi SAW, "Sesungguhnya pertama kali Allah menciptakan Qalam (Pena), Allah berfirman kepadanya: Tulislah! Ia pun bertanya: Tuhanku, apa yang harus aku tulis? Allah menjawab: Tuliskan takdir-takdir segala sesuatu sampai datangnya Hari Kiamat." Konsekuensi dari keyakinan ini adalah bahwa apa yang memang menimpa manusia itu memang tidak akan meleset, dan apa yang memang meleset tidak akan menimpanya.
3. Meyakini akan menyeluruhnya kehendak Allah Ta'ala untuk segala sesuatu (yang terjadi), dan bahwa kejadian yang dikehendaki oleh Allah itu pasti ada, sementara peristiwa yang tidak dikehendaki oleh-Nya tidak akan ada. Meyakini bahwa dalam kerajaan Allah Ta'ala ini tidak akan ada kejadian apa pun yang tidak dikehendaki oleh-Nya dan bahwa perbuatan para hamba itu tercapai adalah atas kehendak-Nya.
4. Meyakini bahwa semua hal (di alam semesta) itu tercapai atas kekuasaan Allah Ta'ala, dan bahwasanya itu semua adalah ciptaan-Nya. Tidak ada Sang Pencipta selain Allah Ta'ala, dan dalam hal itu tidak ada perbedaan antara perbuatan para hamba maupun jenis makhluk yang lainnya (semuanya sama-sama diciptakan oleh Allah), sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Dan, Allah itu menciptakan kalian serta apa yang kalian perbuat." (Ash_Shaffat: 6).
Referensi:
Al-
//
Dua rujukan di atas sangat penting. Matan yang pertama termasuk karya rangkuman akidah Ibnu Taimiyah RH yang paling supel dan paling tersohor. Isinya, setelah disidang, disepakati sebagai akidah Salafiyyah yang bagus. Adapun kitab kedua adalah karya paparan dan argumentasi Akidah Abul Hasan Al-Asy'ari RH yang juga paling valid dan paling tersohor. Dipuji isinya oleh kalangan lain semisal Hanabilah dan Imam Abu Utsman Ash-Shabuni RH.
Babany Sofia
//
ARTI MENGIMANI TAKDIR MENURUT AHLUSSUNNAH
1. Meyakini bahwa Allah Ta'ala secara azali telah mengetahui semua ciptaan-Nya dan semua perbuatan dan keadaan mereka, baik yang berupa ketaatan, kemaksiatan, rizki, ajal, kebahagiaan, maupun kesengsaraan.
2. Meyakini bahwa Allah Ta'ala telah mencatat hal itu dan menuliskannya di Lauh Mahfuzh (Lembaran yang Terjaga) .. Atau sebagaimana sabda Nabi SAW, "Sesungguhnya pertama kali Allah menciptakan Qalam (Pena), Allah berfirman kepadanya: Tulislah! Ia pun bertanya: Tuhanku, apa yang harus aku tulis? Allah menjawab: Tuliskan takdir-takdir segala sesuatu sampai datangnya Hari Kiamat." Konsekuensi dari keyakinan ini adalah bahwa apa yang memang menimpa manusia itu memang tidak akan meleset, dan apa yang memang meleset tidak akan menimpanya.
3. Meyakini akan menyeluruhnya kehendak Allah Ta'ala untuk segala sesuatu (yang terjadi), dan bahwa kejadian yang dikehendaki oleh Allah itu pasti ada, sementara peristiwa yang tidak dikehendaki oleh-Nya tidak akan ada. Meyakini bahwa dalam kerajaan Allah Ta'ala ini tidak akan ada kejadian apa pun yang tidak dikehendaki oleh-Nya dan bahwa perbuatan para hamba itu tercapai adalah atas kehendak-Nya.
4. Meyakini bahwa semua hal (di alam semesta) itu tercapai atas kekuasaan Allah Ta'ala, dan bahwasanya itu semua adalah ciptaan-Nya. Tidak ada Sang Pencipta selain Allah Ta'ala, dan dalam hal itu tidak ada perbedaan antara perbuatan para hamba maupun jenis makhluk yang lainnya (semuanya sama-sama diciptakan oleh Allah), sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Dan, Allah itu menciptakan kalian serta apa yang kalian perbuat." (Ash_Shaffat: 6).
Referensi:
Al-
Aqidah Al-Wasithiyyah karya Ibnu Taimiyyah, beserta syarah Syaikh Muhammad Khalil Harras (hal. 108-110). Mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan Takdir, silakan lihat: Al-Ibanah
An Ushulid Diyanah karya Al-Asy'ari (hal. 131 dst.)//
Dua rujukan di atas sangat penting. Matan yang pertama termasuk karya rangkuman akidah Ibnu Taimiyah RH yang paling supel dan paling tersohor. Isinya, setelah disidang, disepakati sebagai akidah Salafiyyah yang bagus. Adapun kitab kedua adalah karya paparan dan argumentasi Akidah Abul Hasan Al-Asy'ari RH yang juga paling valid dan paling tersohor. Dipuji isinya oleh kalangan lain semisal Hanabilah dan Imam Abu Utsman Ash-Shabuni RH.
Babany Sofia