MK_IDRISIYYAH
Majelis Ketarekatan
Recent Posts
Foto Kenangan di studio TVRI (2021). Bertemu para pelawak senior yang sama-sama shoting di TVRI. Mereka merasa kaget mendengar Syekh Akbar ketika itu telah tampil selama 4 th. Menurutnya mereka (para artis) tidak ada bertahan selama itu, paling 2 th, itu juga sudah hebat.
ALLAHUMMA ASYFI BISABABIK
Ya Allah sembuhkan aku dengan Sebab-Mu
Ya Allah obati aku dengan Obat-Mu
Maafkanlah aku dari Ujian-Mu
Dan dari kekuasaan yang Teramat Besar
Tiada daya dan kekuatan selain dengan-Mu Dzat Yang Maha Tinggi dan Agung
اللهم اشف بسبابك وداو بدوائك
واعف عنى من بلائك وقدرة الأكبر
ولا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم
Ya Allah sembuhkan aku dengan Sebab-Mu
Ya Allah obati aku dengan Obat-Mu
Maafkanlah aku dari Ujian-Mu
Dan dari kekuasaan yang Teramat Besar
Tiada daya dan kekuatan selain dengan-Mu Dzat Yang Maha Tinggi dan Agung
اللهم اشف بسبابك وداو بدوائك
واعف عنى من بلائك وقدرة الأكبر
ولا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم
Jejak Testimoni di Balik GAMIS
Sepulang dari acara GAMIS (Gerakan Memakmurkan Masjid Maghrib Isya Subuh) di pagi hari, istri penulis berkenalan dengan seorang ibu yang mengaku datang dari Bekasi. Hal ini cukup mengejutkan karena kegiatan GAMIS sebenarnya diperuntukkan bagi jamaah Zawiyah pusat saja.
Sambil menunggu kendaraan pulang, ia bercerita bahwa ia 'terpanggil' untuk datang ke Galunggung setelah mendengar pada saat pengajian Zikrul Makhsus bahwa Syekh Akbar berlepas diri dari murid-murid yang tidak hadir di Galunggung. Mendengar hal itu, ia pun menangis dan merasa sedih karena khawatir tidak diakui sebagai murid. Ia bertekad untuk datang ke Tasik dengan naik bis sendirian. Akhirnya, ia berhasil mencapai lokasi dengan menggunakan kendaraan sewa bersama tiga orang lainnya.
Ibu yang belum berkeluarga ini telah menjadi murid sejak tujuh tahun lalu. Perjalanannya dimulai ketika ia melihat program Serambi Islami di TVRI. Di situlah ia merasakan sesuatu yang berbeda dari acara lainnya. Ia berkata, "Kok, yang ini beda." Ia tidak pernah mendengar ceramah dari kyai atau ustadz yang membuatnya menangis; ceramah tersebut juga mudah dipahami. Ketika ia mengunjungi majelis di Batu Tulis, ia datang saat acara pengajian Arbain telah bubar. Ia tidak tahu bahwa pengajiannya sudah selesai pagi-pagi, yang menurutnya tidak biasa. Kemudian, ia mendekati salah seorang pengurus dan menceritakan keinginannya untuk bertemu dengan Syekh Akbar sambil berlinang air mata.
Saat ia mengutarakan maksudnya, secara kebetulan Syekh Akbar melewati ruangan. Ia segera bergegas menemui Beliau dan menangis sejadi-jadinya sambil menumpahkan perasaannya saat itu juga. Apa yang selama ini ia idam-idamkan—bertemu sosok pembimbing—akhirnya terpenuhi. Ia pun datang ke Tasikmalaya pada even Qini Nasional dalam rangka mewujudkan keinginan tersebut. Alhamdulillah, selama tujuh tahun ia selalu menikmati bimbingan Syekh Akbar lewat pengajian Arbain di Jakarta dan pengajian di Tasikmalaya melalui streaming.
Galunggung, 19 Oktober 2024
Sepulang dari acara GAMIS (Gerakan Memakmurkan Masjid Maghrib Isya Subuh) di pagi hari, istri penulis berkenalan dengan seorang ibu yang mengaku datang dari Bekasi. Hal ini cukup mengejutkan karena kegiatan GAMIS sebenarnya diperuntukkan bagi jamaah Zawiyah pusat saja.
Sambil menunggu kendaraan pulang, ia bercerita bahwa ia 'terpanggil' untuk datang ke Galunggung setelah mendengar pada saat pengajian Zikrul Makhsus bahwa Syekh Akbar berlepas diri dari murid-murid yang tidak hadir di Galunggung. Mendengar hal itu, ia pun menangis dan merasa sedih karena khawatir tidak diakui sebagai murid. Ia bertekad untuk datang ke Tasik dengan naik bis sendirian. Akhirnya, ia berhasil mencapai lokasi dengan menggunakan kendaraan sewa bersama tiga orang lainnya.
Ibu yang belum berkeluarga ini telah menjadi murid sejak tujuh tahun lalu. Perjalanannya dimulai ketika ia melihat program Serambi Islami di TVRI. Di situlah ia merasakan sesuatu yang berbeda dari acara lainnya. Ia berkata, "Kok, yang ini beda." Ia tidak pernah mendengar ceramah dari kyai atau ustadz yang membuatnya menangis; ceramah tersebut juga mudah dipahami. Ketika ia mengunjungi majelis di Batu Tulis, ia datang saat acara pengajian Arbain telah bubar. Ia tidak tahu bahwa pengajiannya sudah selesai pagi-pagi, yang menurutnya tidak biasa. Kemudian, ia mendekati salah seorang pengurus dan menceritakan keinginannya untuk bertemu dengan Syekh Akbar sambil berlinang air mata.
Saat ia mengutarakan maksudnya, secara kebetulan Syekh Akbar melewati ruangan. Ia segera bergegas menemui Beliau dan menangis sejadi-jadinya sambil menumpahkan perasaannya saat itu juga. Apa yang selama ini ia idam-idamkan—bertemu sosok pembimbing—akhirnya terpenuhi. Ia pun datang ke Tasikmalaya pada even Qini Nasional dalam rangka mewujudkan keinginan tersebut. Alhamdulillah, selama tujuh tahun ia selalu menikmati bimbingan Syekh Akbar lewat pengajian Arbain di Jakarta dan pengajian di Tasikmalaya melalui streaming.
Galunggung, 19 Oktober 2024
YA GHIYATSI
Wahai penolongku di setiap kesusahan,
Yang menerimaku kala doa kupanjatkan
Pelindungku di setiap kesulitan
Dan harapanku ketika terputus daya dan kekuatan
Reff
يا غياثى فى كل كربة
ومجيبى عند كل دعوة
ومعاذى فى كل شدة
ويا رجائي حين تنقطع حيلتى
@MK_IDRISIYYAH
Wahai penolongku di setiap kesusahan,
Yang menerimaku kala doa kupanjatkan
Pelindungku di setiap kesulitan
Dan harapanku ketika terputus daya dan kekuatan
Reff
يا غياثى فى كل كربة
ومجيبى عند كل دعوة
ومعاذى فى كل شدة
ويا رجائي حين تنقطع حيلتى
@MK_IDRISIYYAH
Apakah Nabi Sulaiman Bukan Seorang Sufi?
Oleh: Syekh Akbar M. Fathurahman, M.Ag
Banyak Sufi yang menunjukkan nama belakang sebagai profesi selain nama asalnya. Seperti Al Haddad, Al Ghazali, Al Dabbagh, dll. Hal itu menandakan bahwa seorang Sufi adalah pekerja, bukan berpangku tangan atau pemalas. Sebagai contoh adalah guru mursyid Imam Al Ghazali adalah seorang tukang sol sepatu yang mengais rezeki melalui tangannya sendiri tanpa meminta-minta kepada orang lain. Para Ulama melabeli namanya dengan sebutan tersebut agar memudahkan identitasnya di samping sebagai perkenalan terhadap pola kebiasaan hidupnya. Ternyata bila melihat nama-nama para Sufi, mereka semua adalah pekerja keras, bukan orang yang berpangku tangan.
Seorang sufi bukanlah orang yang menjauhi dunia dari kehidupannya. Seorang muslim yang menjauhi dunia menunjukkan adanya penyimpangan dalam beragama. Justru ia takluk dengan kehidupan dunia. Karenanya ia dituntut untuk selalu aktif (bekerja). Seorang pria dewasa akan dimintai pertanggungjawaban bagaimana ia menafkahi keluarganya.
Para Nabi As dan Sahabat Ra seluruhnya adalah pengamal tasawuf. Kepada merekalah banyak contoh teladan perilaku bertasawuf, seperti Sabar, Tawakkal, Syukur, Ridha, Syaja’ah, Mahabbah, dll. Seandainya orang sufi digambarkan sebagai orang yang faqir dan miskin, tentu Nabi Sulaiman dan para Sahabat tidak termasuk ke dalamnya. Nabi Sulaiman As adalah orang yang zuhud, yakni orang yang telah sukses menghilangkan ekses negatif dunia dalam hatinya.
Ketika Ratu Balqis mengirimkan berbagai hadiah ke kerajaannya, tidak satupun pemberian itu diambilnya. Karena tujuannya hanya menyampaikan Risalah Allah. Suatu ketika Beliau lalai shalat Ashar lalu beliau kurbankan 900 ekor kuda kesayangannya sebagai penebus kelalaiannya itu. Beliau tidak terpukau dengan harta yang dimilikinya. Jika seorang sufi itu harus miskin dan lusuh, bagaimana dengan Nabi Sulaiman? Apakah orang yang bergelimang harta tapi hatinya tak tergoda dengan segala kesenangannya bukan seorang Sufi?
Suatu ketika Beliau sedang terbang dibawa oleh angin, lalu mendengar dari kejauhan seorang rakyat jelata mengucapkan tasbih. Tasbih itu membuatnya gemetar, dan Beliau menghampiri petani tersebut. Lalu Beliau katakan, bahwa jika tasbih yang diucapkannya itu lebih baik daripada seluruh isi kerajaan yang dimilikinya. Perkataan tersebut menegaskan apalah arti harta, kekuasaan atau jabatan bagi Nabi Sulaiman. Di hatinya, Keagungan Allah adalah segala-galanya.
Sementara orang banyak melirik ‘wow’ terhadap kekayaan dan kekuasaan yang dimilikinya, tapi jarang memandang ‘wow’ hatinya yang bersih, zuhud dan tidak silau dengan itu semua. Karena itu banyak orang berdoa merindukan kekayaan materi seperti Nabi Sulaiman, tapi jarang yang menginginkan kekayaan hati seperti Nabi Sulaiman, yang bagaikan emas mulia, dan tak tergoda dengan gemerlap dunia karena di dalam hatinya tertancap Keagungan Allah.
@MK_IDRISIYYAH
Oleh: Syekh Akbar M. Fathurahman, M.Ag
Banyak Sufi yang menunjukkan nama belakang sebagai profesi selain nama asalnya. Seperti Al Haddad, Al Ghazali, Al Dabbagh, dll. Hal itu menandakan bahwa seorang Sufi adalah pekerja, bukan berpangku tangan atau pemalas. Sebagai contoh adalah guru mursyid Imam Al Ghazali adalah seorang tukang sol sepatu yang mengais rezeki melalui tangannya sendiri tanpa meminta-minta kepada orang lain. Para Ulama melabeli namanya dengan sebutan tersebut agar memudahkan identitasnya di samping sebagai perkenalan terhadap pola kebiasaan hidupnya. Ternyata bila melihat nama-nama para Sufi, mereka semua adalah pekerja keras, bukan orang yang berpangku tangan.
Seorang sufi bukanlah orang yang menjauhi dunia dari kehidupannya. Seorang muslim yang menjauhi dunia menunjukkan adanya penyimpangan dalam beragama. Justru ia takluk dengan kehidupan dunia. Karenanya ia dituntut untuk selalu aktif (bekerja). Seorang pria dewasa akan dimintai pertanggungjawaban bagaimana ia menafkahi keluarganya.
Para Nabi As dan Sahabat Ra seluruhnya adalah pengamal tasawuf. Kepada merekalah banyak contoh teladan perilaku bertasawuf, seperti Sabar, Tawakkal, Syukur, Ridha, Syaja’ah, Mahabbah, dll. Seandainya orang sufi digambarkan sebagai orang yang faqir dan miskin, tentu Nabi Sulaiman dan para Sahabat tidak termasuk ke dalamnya. Nabi Sulaiman As adalah orang yang zuhud, yakni orang yang telah sukses menghilangkan ekses negatif dunia dalam hatinya.
Ketika Ratu Balqis mengirimkan berbagai hadiah ke kerajaannya, tidak satupun pemberian itu diambilnya. Karena tujuannya hanya menyampaikan Risalah Allah. Suatu ketika Beliau lalai shalat Ashar lalu beliau kurbankan 900 ekor kuda kesayangannya sebagai penebus kelalaiannya itu. Beliau tidak terpukau dengan harta yang dimilikinya. Jika seorang sufi itu harus miskin dan lusuh, bagaimana dengan Nabi Sulaiman? Apakah orang yang bergelimang harta tapi hatinya tak tergoda dengan segala kesenangannya bukan seorang Sufi?
Suatu ketika Beliau sedang terbang dibawa oleh angin, lalu mendengar dari kejauhan seorang rakyat jelata mengucapkan tasbih. Tasbih itu membuatnya gemetar, dan Beliau menghampiri petani tersebut. Lalu Beliau katakan, bahwa jika tasbih yang diucapkannya itu lebih baik daripada seluruh isi kerajaan yang dimilikinya. Perkataan tersebut menegaskan apalah arti harta, kekuasaan atau jabatan bagi Nabi Sulaiman. Di hatinya, Keagungan Allah adalah segala-galanya.
Sementara orang banyak melirik ‘wow’ terhadap kekayaan dan kekuasaan yang dimilikinya, tapi jarang memandang ‘wow’ hatinya yang bersih, zuhud dan tidak silau dengan itu semua. Karena itu banyak orang berdoa merindukan kekayaan materi seperti Nabi Sulaiman, tapi jarang yang menginginkan kekayaan hati seperti Nabi Sulaiman, yang bagaikan emas mulia, dan tak tergoda dengan gemerlap dunia karena di dalam hatinya tertancap Keagungan Allah.
@MK_IDRISIYYAH
DEGRADASI
إِذَا تَمَّ أَمْرٌ بَدَا نَقصُهُ — تَوَقّع زَوَالًا إِذَا قِيْلَ تَمّ
“Ketika suatu perkara telah sempurna, maka tampaklah kekurangannya. Kesempurnaan suatu perkara akan lenyap jika dikatakan telah sempurna ” (Ibnu Abi Dunya).
Ungkapan ini terkenal karena terkait dengan turunnya ayat Q.S. Al Maidah: 3, tentang kesempurnaan agama.
Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq menangis ketika mendengar ayat tersebut, sementara sahabat lainnya bergembira. Ia mengunci diri di dalam kamarnya, dan menangis sejadi-jadinya. Para Sahabat bertanya-tanya, dan setelah ayat tadi dikonfirmasi maka keluarlah ungkapan di atas. Para sahabat baru tersadar hingga mereka pun ikut menangis. Konon menurut beberapa mufassir menambahkan keterangan bahwa gunung-gunung, batu, pepohonan ikut menangis, alam ikut merasa sedih karena hal tersebut.
Ketika orang-orang mengira bahwa sebuah bangunan yang diciptakannya sejak pembuatan pondasi, hingga berdiri tegak dan dilengkapi perabot rumah tangga di dalamnya, maka pencapaiannya terhadap bangunan rumahnya dianggap telah sempurna. Banyak orang yang gembira menyaksikan peresmian sebuah bangunan, namun tidak menyadari setelah kesempurnaan bangunan itu akan muncul kerusakan demi kerusakan. Baik secara alami atau human eror, bangunan itu akan berkurang kualitasnya. Begitu juga dengan barang lainnya seperti Hp baru, mobil baru, akan mengalami degradasi nilai.
Begitulah yang dirasakan Sayidina Abu Bakar Ra, ketika mendengar bahwa agama ini telah sempurna. Dengan dzauq makrifatnya yang mendalam ia memahami sesuatu yang tidak dipahami orang lain. Karena itu ia menanggung kesedihan sendiri di kamarnya. Ia merasakan ada sesuatu yang hilang di balik sebuah kesempurnaan agama. Maka benarlah firasat yang dirasakannya itu. Setelah ayat itu turun, beberapa waktu kemudian wafatlah Sang kekasih, Nabi Muhammad Saw dan berakhirlah masa Kenabian. Pasca kejadian itu kondisi umat mengalami berbagai ujian dan fitnah hingga ketiga khalifah Ar Rasyidin pun terbunuh. Sungguh kondisi yang menyedihkan.
Agama telah sempurna bukan berarti selesai bimbingan agama. Agama terpelihara hingga kini karena adanya sosok Ulama Rabbani pewaris Nabi. Ujian terbesar umat ini adalah tidak adanya pembimbing hakiki dalam hidupnya sehingga ia tidak mampu merubah kondisinya dari kegelapan menuju cahaya petunjuk-Nya, minaz zhulumati ilan nur.
@MK_IDRISIYYAH
إِذَا تَمَّ أَمْرٌ بَدَا نَقصُهُ — تَوَقّع زَوَالًا إِذَا قِيْلَ تَمّ
“Ketika suatu perkara telah sempurna, maka tampaklah kekurangannya. Kesempurnaan suatu perkara akan lenyap jika dikatakan telah sempurna ” (Ibnu Abi Dunya).
Ungkapan ini terkenal karena terkait dengan turunnya ayat Q.S. Al Maidah: 3, tentang kesempurnaan agama.
Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq menangis ketika mendengar ayat tersebut, sementara sahabat lainnya bergembira. Ia mengunci diri di dalam kamarnya, dan menangis sejadi-jadinya. Para Sahabat bertanya-tanya, dan setelah ayat tadi dikonfirmasi maka keluarlah ungkapan di atas. Para sahabat baru tersadar hingga mereka pun ikut menangis. Konon menurut beberapa mufassir menambahkan keterangan bahwa gunung-gunung, batu, pepohonan ikut menangis, alam ikut merasa sedih karena hal tersebut.
Ketika orang-orang mengira bahwa sebuah bangunan yang diciptakannya sejak pembuatan pondasi, hingga berdiri tegak dan dilengkapi perabot rumah tangga di dalamnya, maka pencapaiannya terhadap bangunan rumahnya dianggap telah sempurna. Banyak orang yang gembira menyaksikan peresmian sebuah bangunan, namun tidak menyadari setelah kesempurnaan bangunan itu akan muncul kerusakan demi kerusakan. Baik secara alami atau human eror, bangunan itu akan berkurang kualitasnya. Begitu juga dengan barang lainnya seperti Hp baru, mobil baru, akan mengalami degradasi nilai.
Begitulah yang dirasakan Sayidina Abu Bakar Ra, ketika mendengar bahwa agama ini telah sempurna. Dengan dzauq makrifatnya yang mendalam ia memahami sesuatu yang tidak dipahami orang lain. Karena itu ia menanggung kesedihan sendiri di kamarnya. Ia merasakan ada sesuatu yang hilang di balik sebuah kesempurnaan agama. Maka benarlah firasat yang dirasakannya itu. Setelah ayat itu turun, beberapa waktu kemudian wafatlah Sang kekasih, Nabi Muhammad Saw dan berakhirlah masa Kenabian. Pasca kejadian itu kondisi umat mengalami berbagai ujian dan fitnah hingga ketiga khalifah Ar Rasyidin pun terbunuh. Sungguh kondisi yang menyedihkan.
Agama telah sempurna bukan berarti selesai bimbingan agama. Agama terpelihara hingga kini karena adanya sosok Ulama Rabbani pewaris Nabi. Ujian terbesar umat ini adalah tidak adanya pembimbing hakiki dalam hidupnya sehingga ia tidak mampu merubah kondisinya dari kegelapan menuju cahaya petunjuk-Nya, minaz zhulumati ilan nur.
@MK_IDRISIYYAH
MENTAL DAN PENGETAHUAN
Oleh: Syekh Akbar Muhammad Fathurahman, M.Ag
Ketika walisongo membuat wayang kulit, karakter mental masing-masing peran (sosok) sudah dapat dikonsepkan secara fisik. Dari bentuk wajah, tubuh atau warnanya menggambarkan sifat atau mentalnya. Hal itu sudah menjadi standar mental yang dimiliki oleh manusia dari waktu ke waktu.
Pola mental yang sama juga telah disebutkan dalam Al Quran ketika menceritakan bagaimana perilaku anak Adam yang berani membunuh saudaranya. Ada yang bermental ikhlas dan ada yang ingin dihargai/dihormati. Demikian pula yang kita baca dalam sejarah-sejarah atau film-film yang banyak kita saksikan.
Agama dengan menghadirkan tasawuf adalah begitu tepat, karena sasarannya adalah bagaimana mendidik mental manusia, yang polanya sama dari dulu hingga sekarang.
Di sisi lain, pengetahuan atau teknologi dapat berubah sewaktu-waktu. Contohnya, dulu tidak ada pesawat, mobil, hp, dll. Sekarang sudah ada dan berganti-ganti. Perkembangan di bidang ini maju tak terbendung, seiring semangat manusia membangun dan memajukan kehidupan dunia.
Misi utama agama adalah perubahan mental manusia. Hasil dakwahnya adalah perubahan tujuan hidup manusia dari 'dunia oriented' menjadi 'akhirat oriented'. Oleh karenanya, peran agama adalah merubah paradigma berfikir dan sikap mental. Jika seseorang beragama tapi tidak mengubah 2 aspek tersebut, berarti ia sekadar menyandang Islam KTP, atau tidak beragama dalam arti sebenarnya.
Mencari pengetahuan adalah naluri (tidak perlu diajarkan), sedangkan sikap mental mesti diajarkan. Seseorang bisa saja tahu segalanya, tapi tak bernilai manakala mentalnya bobrok.
Pengetahuan bisa diperoleh dengan cara instan, seperti melalui kursus atau bimbingan tes. Medianya pun banyak. Sedangkan perubahan sikap mental tidak bisa diraih dengan sekejap. Jika pengetahuan terbangun dari apa yang dibaca dan dipelajari, maka mental seseorang terbangun dari pergaulan teman dan, lingkungannya.
Pendidikan di negara kita banyak yang gagal karena kurang memperhatikan masalah mental ini (terabaikan). Tolok ukur keberhasilan pendidikan selalu diukur melalui nilai-nilai (angka). Sayangnya, anggaran negara yang besar di bidang pendidikan pun kurang menyentuh masalah ini.
@MK_IDRISIYYAH
Oleh: Syekh Akbar Muhammad Fathurahman, M.Ag
Ketika walisongo membuat wayang kulit, karakter mental masing-masing peran (sosok) sudah dapat dikonsepkan secara fisik. Dari bentuk wajah, tubuh atau warnanya menggambarkan sifat atau mentalnya. Hal itu sudah menjadi standar mental yang dimiliki oleh manusia dari waktu ke waktu.
Pola mental yang sama juga telah disebutkan dalam Al Quran ketika menceritakan bagaimana perilaku anak Adam yang berani membunuh saudaranya. Ada yang bermental ikhlas dan ada yang ingin dihargai/dihormati. Demikian pula yang kita baca dalam sejarah-sejarah atau film-film yang banyak kita saksikan.
Agama dengan menghadirkan tasawuf adalah begitu tepat, karena sasarannya adalah bagaimana mendidik mental manusia, yang polanya sama dari dulu hingga sekarang.
Di sisi lain, pengetahuan atau teknologi dapat berubah sewaktu-waktu. Contohnya, dulu tidak ada pesawat, mobil, hp, dll. Sekarang sudah ada dan berganti-ganti. Perkembangan di bidang ini maju tak terbendung, seiring semangat manusia membangun dan memajukan kehidupan dunia.
Misi utama agama adalah perubahan mental manusia. Hasil dakwahnya adalah perubahan tujuan hidup manusia dari 'dunia oriented' menjadi 'akhirat oriented'. Oleh karenanya, peran agama adalah merubah paradigma berfikir dan sikap mental. Jika seseorang beragama tapi tidak mengubah 2 aspek tersebut, berarti ia sekadar menyandang Islam KTP, atau tidak beragama dalam arti sebenarnya.
Mencari pengetahuan adalah naluri (tidak perlu diajarkan), sedangkan sikap mental mesti diajarkan. Seseorang bisa saja tahu segalanya, tapi tak bernilai manakala mentalnya bobrok.
Pengetahuan bisa diperoleh dengan cara instan, seperti melalui kursus atau bimbingan tes. Medianya pun banyak. Sedangkan perubahan sikap mental tidak bisa diraih dengan sekejap. Jika pengetahuan terbangun dari apa yang dibaca dan dipelajari, maka mental seseorang terbangun dari pergaulan teman dan, lingkungannya.
Pendidikan di negara kita banyak yang gagal karena kurang memperhatikan masalah mental ini (terabaikan). Tolok ukur keberhasilan pendidikan selalu diukur melalui nilai-nilai (angka). Sayangnya, anggaran negara yang besar di bidang pendidikan pun kurang menyentuh masalah ini.
@MK_IDRISIYYAH
Meluruskan Kesalahpahaman Zuhud
Oleh: Syekh Akbar M. Fathurahman, M.Ag
Salah satu sikap yang disalahpahami tentang sufi adalah menganggap orang yang belajar tasawuf atau sufi harus meninggalkan dunia. Orang yang memasuki dunia tasawuf berarti menyiapkan diri untuk miskin. Seorang sufi diilustrasikan dengan mereka yang terus menerus berdiam di masjid sambil memegang tasbih. Itu pula yang mereka gambarkan kepada sosok walisongo yang terlihat bersurban dan memegang tasbih. Dunia dianggapnya suatu hal yang tercela, tabu dan harus dijauhi. Kondisi itu diyakini sebagai kesempurnaan ahwal seorang salik di hadapan Allah, di mana sudah tidak lagi memikirkan dunia.
Akibat keyakinan itu ada anggapan orang bahwa mereka yang masih menggeluti dunia pertanda beragamanya masih jauh dari sempurna karena dianggap masih memikirkan dunia.
Penyakit yang disebabkan oleh dunia dan kehidupannya adalah hubbud dunia. Hadis menyebutkan bahwa ia merupakan pangkal (sumber) segala dosa dan kesalahan. Dan obatnya adalah zuhud. Dunia bisa mengandung arti positif dan negatif. Positif manakala dijadikan sarana (media) untuk taat, negatif manakala ia menjadi penyebab ia jauh dari Allah SWT. Maka yang patut dihindari dari dunia adalah ekses negatifnya, berupa kenikmatan dan kesenangan yang menipu.
Dalam pengertian ini perkara zuhud adalah adalah perkara batin (hati). Bisa jadi seseorang kaya tapi hatinya zuhud dan bisa jadi ada yang miskin tapi hatinya bergantung dengan dunia. Kaya atau miskin bukan menjadi barometer zuhud atau kesufian seseorang.
@MK_IDRISIYYAH
Oleh: Syekh Akbar M. Fathurahman, M.Ag
Salah satu sikap yang disalahpahami tentang sufi adalah menganggap orang yang belajar tasawuf atau sufi harus meninggalkan dunia. Orang yang memasuki dunia tasawuf berarti menyiapkan diri untuk miskin. Seorang sufi diilustrasikan dengan mereka yang terus menerus berdiam di masjid sambil memegang tasbih. Itu pula yang mereka gambarkan kepada sosok walisongo yang terlihat bersurban dan memegang tasbih. Dunia dianggapnya suatu hal yang tercela, tabu dan harus dijauhi. Kondisi itu diyakini sebagai kesempurnaan ahwal seorang salik di hadapan Allah, di mana sudah tidak lagi memikirkan dunia.
Akibat keyakinan itu ada anggapan orang bahwa mereka yang masih menggeluti dunia pertanda beragamanya masih jauh dari sempurna karena dianggap masih memikirkan dunia.
Penyakit yang disebabkan oleh dunia dan kehidupannya adalah hubbud dunia. Hadis menyebutkan bahwa ia merupakan pangkal (sumber) segala dosa dan kesalahan. Dan obatnya adalah zuhud. Dunia bisa mengandung arti positif dan negatif. Positif manakala dijadikan sarana (media) untuk taat, negatif manakala ia menjadi penyebab ia jauh dari Allah SWT. Maka yang patut dihindari dari dunia adalah ekses negatifnya, berupa kenikmatan dan kesenangan yang menipu.
Dalam pengertian ini perkara zuhud adalah adalah perkara batin (hati). Bisa jadi seseorang kaya tapi hatinya zuhud dan bisa jadi ada yang miskin tapi hatinya bergantung dengan dunia. Kaya atau miskin bukan menjadi barometer zuhud atau kesufian seseorang.
@MK_IDRISIYYAH
AGAMA ITU MAHAL
Oleh: Syekh Akbar M. Fathurahman, M.Ag
Banyak orang yang tahu tentang berlian. Mereka mampu mendeskripsikannya tapi tak pernah melihat apalagi menyentuhnya. Siapapun membicarakannya, walau ia tidak mampu membelinya. Amatlah jarang, hanya segelintir orang yang dapat melihat bentuk aslinya apalagi memilikinya. Biasanya orang yang memilikinya berhati-hati sekali mengungkapkannya, sedangkan orang yang tidak memilikinya akan mengobral info tentang benda yang digemari banyak orang tersebut.
Demikianlah ilmu makrifatullah sebagai puncak ilmu. Banyak yang merasa tahu tentang Allah, lewat tulisan atau mendengarnya. Tapi amat sedikit yang benar-benar mengenalnya. Siapapun bisa membicarakan makrifat, dari ruang masjid, kantor hingga di warung kopi. Sampai ketika mengkaji bahasan 'wahdatul wujud atau fana' seakan-akan ia merasakan dan tidak semua orang tahu seperti dirinya.
Ada sebuah restoran berkelas yang menjual steak daging sapi seharga 600 rb/porsi. Harga sepotong daging tersebut bisa memberi makan puluhan orang sampai kenyang. Tentu steak dengan harga segitu bukan sembarang daging. Dagingnya empuk dan lezat, karena merupakan daging sapi pilihan dan diproses sedemikian rupa. Olahan spesial itulah salah satu yang membuatnya mahal. Namun meskipun mahal selalu saja ada yang datang membelinya.
Agama pun demikian, mahal harganya sehingga tak sembarang orang 'membeli'nya. Seperti halnya steak dan berlian tadi meskipun begitu mahal akan ada saja yang datang mencarinya. Dulu, pengikut Nabi Isa yang setia (Hawariyyun) berjumlah 12 orang. Demikian pula murid Syekh Abdul Qadir Al Jilani, serta Mursyid lainnya. Peminat agama sebenarnya amatlah sedikit.
Seorang Mursyid berdakwah (mengajak) orang-orang kepada Allah dengan tulus ikhlas. Tidak peduli, baik sedikit atau banyak yang mendengarkan, ia akan terus menyampaikan amanah Risalah Allah. Baginya tidak masalah sedikit atau banyak yang menyambutnya. Dalam hatinya terpatri rasa syukur apabila tugasnya telah disampaikan kepada umat.
@MK_IDRISIYYAH
Oleh: Syekh Akbar M. Fathurahman, M.Ag
Banyak orang yang tahu tentang berlian. Mereka mampu mendeskripsikannya tapi tak pernah melihat apalagi menyentuhnya. Siapapun membicarakannya, walau ia tidak mampu membelinya. Amatlah jarang, hanya segelintir orang yang dapat melihat bentuk aslinya apalagi memilikinya. Biasanya orang yang memilikinya berhati-hati sekali mengungkapkannya, sedangkan orang yang tidak memilikinya akan mengobral info tentang benda yang digemari banyak orang tersebut.
Demikianlah ilmu makrifatullah sebagai puncak ilmu. Banyak yang merasa tahu tentang Allah, lewat tulisan atau mendengarnya. Tapi amat sedikit yang benar-benar mengenalnya. Siapapun bisa membicarakan makrifat, dari ruang masjid, kantor hingga di warung kopi. Sampai ketika mengkaji bahasan 'wahdatul wujud atau fana' seakan-akan ia merasakan dan tidak semua orang tahu seperti dirinya.
Ada sebuah restoran berkelas yang menjual steak daging sapi seharga 600 rb/porsi. Harga sepotong daging tersebut bisa memberi makan puluhan orang sampai kenyang. Tentu steak dengan harga segitu bukan sembarang daging. Dagingnya empuk dan lezat, karena merupakan daging sapi pilihan dan diproses sedemikian rupa. Olahan spesial itulah salah satu yang membuatnya mahal. Namun meskipun mahal selalu saja ada yang datang membelinya.
Agama pun demikian, mahal harganya sehingga tak sembarang orang 'membeli'nya. Seperti halnya steak dan berlian tadi meskipun begitu mahal akan ada saja yang datang mencarinya. Dulu, pengikut Nabi Isa yang setia (Hawariyyun) berjumlah 12 orang. Demikian pula murid Syekh Abdul Qadir Al Jilani, serta Mursyid lainnya. Peminat agama sebenarnya amatlah sedikit.
Seorang Mursyid berdakwah (mengajak) orang-orang kepada Allah dengan tulus ikhlas. Tidak peduli, baik sedikit atau banyak yang mendengarkan, ia akan terus menyampaikan amanah Risalah Allah. Baginya tidak masalah sedikit atau banyak yang menyambutnya. Dalam hatinya terpatri rasa syukur apabila tugasnya telah disampaikan kepada umat.
@MK_IDRISIYYAH
LAGU ARBAIN
سبحان الله والحمد لله ولا اله الا الله
والله اكبر ولا حول ولا قوة الا بالله
Hari ini kita mengaji
Menuntut ilmu Ulama Robbani
Bertatap muka silaturrahmi
Semoga mendapat Ridho Ilahi
Jangan lebih dari 40 hari
Tak jumpa Guru Pembimbing ruhani
Sebab keimanan selalu diuji
Kalau melemah harus dicharge lagi
Potensi diri harus digali
Hawa nafsu harus diperangi
Bimbingan Mursyid begitu ahli
Membuat kita jadi tahu salah diri
Pergi ke surga jangan sendiri
Supaya tidak kesepian nanti
Ajak keluarga anak dan istri
Mudah-mudahan Allah memberkahi
سبحان الله والحمد لله ولا اله الا الله
والله اكبر ولا حول ولا قوة الا بالله
Hari ini kita mengaji
Menuntut ilmu Ulama Robbani
Bertatap muka silaturrahmi
Semoga mendapat Ridho Ilahi
Jangan lebih dari 40 hari
Tak jumpa Guru Pembimbing ruhani
Sebab keimanan selalu diuji
Kalau melemah harus dicharge lagi
Potensi diri harus digali
Hawa nafsu harus diperangi
Bimbingan Mursyid begitu ahli
Membuat kita jadi tahu salah diri
Pergi ke surga jangan sendiri
Supaya tidak kesepian nanti
Ajak keluarga anak dan istri
Mudah-mudahan Allah memberkahi
MENELAAH KONSEP ADAB MURID
Oleh: Syekh Akbar M. Fathurahman, M.Ag
Kajian Adab Murid kepada Guru jika dibaca dari sudut ilmu Aqidah sepintas memang terlihat ekstrim. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa point adab yang disebutkan, di antaranya menganggap seluruh pencapaian anugerah disandarkan kepada keberkahan Gurunya.
Sebenarnya ruang kajian adab tersebut berada dalam wilayah tatanan hubungan horisontal (hablum minannas), yang mesti dijalani agar tercipta hubungan baik (normal) antara sesama manusia berupa hak dan kewajiban.
Adalah penting membangun adab lahiriyah untuk mengukuhkan keberadaan Mursyid sebagai wasilah. Hal ini tidaklah bertolak belakang dengan masalah Tauhid, di mana masalah wasilah juga termasuk bagian dalam ajaran Islam.
Mereka yang hanya mengambil sudut pandang hubungan vertikal (kepada Allah saja) dalam kaca mata mereka semua manusia dianggap sama dalam pandangan Allah.
Dalam Al Quran dijelaskan bahwa Allah mengutamakan orang-orang tertentu dibanding lainnya. Nabi Saw diutamakan atas orang-orang mukmin lainnya, An nabiyyu awlaa bil mukminiin min anfusihim (Q.S. Al Ahzab: 6) Nabi Musa As memiliki kedudukan yang terhormat sehingga Allah SWT menyebutnya: wa kaana 'indallaahi wajiihaa (Q.S. Al Ahzab: 69)
Tidak adanya pengakuan terhadap pentingnya membangun adab lahiriyah ini akan melahirkan orang-orang yang bersikap arogan dan bermental ekstrim. Dengan pendirian tersebut tidak akan terjadi hubungan saling menghormati di antara sesama manusia yang memiliki hak strata sosial seperti hubungan murid dengan guru, bawahan dengan majikan, bahkan anak dengan orang tua.
Sikap tidak menghormati hingga menyepelekan tersebut justru akan merusak (mengacaukan) tatanan sosial (hablum minannas). Mereka mengisolasi orang-orang yang berseberangan dengan kelompok mereka dengan tudingan membid'ahkan, mengkafirkan, menyesatkan bahkan membunuh sesama umat Islam.
Mental seperti itu dibangun oleh konsep kekuatan vertikal saja, dan menafikan konsep hubungan horisontal (dalam hal ini mencakup adab sesama manusia, seperti adab murid kepada guru).
@MK_IDRISIYYAH
Oleh: Syekh Akbar M. Fathurahman, M.Ag
Kajian Adab Murid kepada Guru jika dibaca dari sudut ilmu Aqidah sepintas memang terlihat ekstrim. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa point adab yang disebutkan, di antaranya menganggap seluruh pencapaian anugerah disandarkan kepada keberkahan Gurunya.
Sebenarnya ruang kajian adab tersebut berada dalam wilayah tatanan hubungan horisontal (hablum minannas), yang mesti dijalani agar tercipta hubungan baik (normal) antara sesama manusia berupa hak dan kewajiban.
Adalah penting membangun adab lahiriyah untuk mengukuhkan keberadaan Mursyid sebagai wasilah. Hal ini tidaklah bertolak belakang dengan masalah Tauhid, di mana masalah wasilah juga termasuk bagian dalam ajaran Islam.
Mereka yang hanya mengambil sudut pandang hubungan vertikal (kepada Allah saja) dalam kaca mata mereka semua manusia dianggap sama dalam pandangan Allah.
Dalam Al Quran dijelaskan bahwa Allah mengutamakan orang-orang tertentu dibanding lainnya. Nabi Saw diutamakan atas orang-orang mukmin lainnya, An nabiyyu awlaa bil mukminiin min anfusihim (Q.S. Al Ahzab: 6) Nabi Musa As memiliki kedudukan yang terhormat sehingga Allah SWT menyebutnya: wa kaana 'indallaahi wajiihaa (Q.S. Al Ahzab: 69)
Tidak adanya pengakuan terhadap pentingnya membangun adab lahiriyah ini akan melahirkan orang-orang yang bersikap arogan dan bermental ekstrim. Dengan pendirian tersebut tidak akan terjadi hubungan saling menghormati di antara sesama manusia yang memiliki hak strata sosial seperti hubungan murid dengan guru, bawahan dengan majikan, bahkan anak dengan orang tua.
Sikap tidak menghormati hingga menyepelekan tersebut justru akan merusak (mengacaukan) tatanan sosial (hablum minannas). Mereka mengisolasi orang-orang yang berseberangan dengan kelompok mereka dengan tudingan membid'ahkan, mengkafirkan, menyesatkan bahkan membunuh sesama umat Islam.
Mental seperti itu dibangun oleh konsep kekuatan vertikal saja, dan menafikan konsep hubungan horisontal (dalam hal ini mencakup adab sesama manusia, seperti adab murid kepada guru).
@MK_IDRISIYYAH