
Kanal Al Karramah
Kanal informasi, pengetahuan tentang Al Karamah. Khusus buat mereka yg mencari pengetahuan ilmu sejati tentang hidup dan kehidupan. Termasuk melalui metoda spiritualisme Islam.
Recent Posts
Memahami para filsuf mencari Tuhan. Selamat membaca!
Penulis:
Jika pun harus mengkritik, maka biasanya kritik muncul karena problem identitas komunal dan perbedaan akidah, bukan atas dasar mencari kebenaran akademik. Misalnya orang Sunni mengkritik orang-orang Syiah, begitu juga sebaliknya. Kelompok Sunni A yang punya guru A mengkritik kelompok Sunni B yang punya guru B. Ormas Islam A mengkritik akidah ormas Islam B, dan begitu sebaliknya. Jadi, kritik itu sebenarnya karena ada problem kepentingan identitas komunal dan perbedaan akidah, bukan pada area akademik.
Meskipun orang-orang pada tradisi keulamaan sering menyatakan bahwa mereka tidak memutlakkan pendapat ulama tapi pada praktiknya pandangan-pandangan keagamaan para imam dan ulama selalu dianggap benar, diikuti, terus didakwahkan, dan tidak ada niat dan keberanian untuk mengkritik dan merevisi pandangan mereka. Ciri yang lain lagi adalah soal silsilah keilmuan. Dalam tradisi keulamaan, silsilah keilmuan juga sangat penting untuk menunjukkan bahwa ilmu Islam yang ia pelajari sanadnya nyambung ke para imam besar, bahkan hingga kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan begitu, maka ia merasa punya otoritas dan legitimate untuk mengajarkan ilmu itu. Dalam tradisi keulamaan, ilmu-ilmu Islam konvensional sejak masa klasik hingga era modern ditransmisikan secara verbatim dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga menjadi tradisi yang mapan, dan tradisi keagamaan itu juga harus dipertahankan, jangan dikritik! Apalagi dihilangkan!
Dalam tradisi keulamaan, umumnya ilmu agama juga dibagi dua: yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Yang bermanfaat tentu saja yang dapat memperkuat iman, menjaga akidah “yang lurus” dan mengembangkan akhlak yang mulia. Ilmu yang tidak bermanfaat adalah yang sebaliknya. Pertanyaannya: memang ada ilmu yang tidak bermanfaat?
Bersambung...
Meskipun orang-orang pada tradisi keulamaan sering menyatakan bahwa mereka tidak memutlakkan pendapat ulama tapi pada praktiknya pandangan-pandangan keagamaan para imam dan ulama selalu dianggap benar, diikuti, terus didakwahkan, dan tidak ada niat dan keberanian untuk mengkritik dan merevisi pandangan mereka. Ciri yang lain lagi adalah soal silsilah keilmuan. Dalam tradisi keulamaan, silsilah keilmuan juga sangat penting untuk menunjukkan bahwa ilmu Islam yang ia pelajari sanadnya nyambung ke para imam besar, bahkan hingga kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan begitu, maka ia merasa punya otoritas dan legitimate untuk mengajarkan ilmu itu. Dalam tradisi keulamaan, ilmu-ilmu Islam konvensional sejak masa klasik hingga era modern ditransmisikan secara verbatim dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga menjadi tradisi yang mapan, dan tradisi keagamaan itu juga harus dipertahankan, jangan dikritik! Apalagi dihilangkan!
Dalam tradisi keulamaan, umumnya ilmu agama juga dibagi dua: yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Yang bermanfaat tentu saja yang dapat memperkuat iman, menjaga akidah “yang lurus” dan mengembangkan akhlak yang mulia. Ilmu yang tidak bermanfaat adalah yang sebaliknya. Pertanyaannya: memang ada ilmu yang tidak bermanfaat?
Bersambung...
Tradisi keilmuan Islam (1)
Umumnya kaum muslim belajar/mendalami Islam dalam 3 model. Apa yang saya maksud “belajar” atau “mendalami” agama Islam adalah cara atau proses (aspek metodologis) ketika (sedang) mendalami ilmu Islam, cara memperlakukannya, dan konsekwensi setelah mendapatkan ilmu-nya.
Pertama, kita menyebutnya sebagai “tradisi klerik” atau “tradisi keulamaan”. Ilmu, termasuk ilmu memahami Islam, dalam tradisi ini dianggap “sakral”, disebut “nur” atau cahaya (al’ilmu nuur: ilmu adalah cahaya) karena berasal dari Allah. Karena itu dalam proses “menerima” atau “mendapatkan” ilmu dianjurkan untuk berwudhu, menyucikan jiwa dari kotoran-kotoran jiwa, dan harus punya akhlak terhadap ilmu, supaya mendapat ilmu yang manfaat dan berkah. Mempelajari ilmu Islam berarti sedang “beribadah”. Tujuan mencari/mempelajari ilmu agama adalah untuk “memperkuat iman” atau mengajak masyarakat muslim untuk berperilaku sesuai ajaran Islam (Islami), atau pada level sosio-politik untuk membentuk/mengembangkan masyarakat muslim. Tujuan iman ini sangat penting dalam tradisi klerik. Jangan sampai orang belajar/mendalami agama, iman Islamnya malah copot, malah ragu-ragu terhadap kebenaran Islam, atau malah semakin jauh dari Tuhan. Jangan sampai kayak gitu. Belajar Islam harus menghasilkan iman yang semakin kuat dan perilaku yang semakin saleh.
Selain untuk memperkuat iman, ciri pokok tradisi keulamaan adalah bahwa “kebenaran Islam sudah final”, “sudah mutlak”, tidak boleh diganggu gugat. Jadi, ilmu (agama) dan iman adalah satu. Belajar agama ya untuk memperkuat agama, bukan malah “meragukan kebenaran agama”. Karena itu, tidak ada tradisi kritis, dalam arti tidak ada kebebasan akademik, karena data-data keilmuan, ilmu Islam itu sendiri dan Islam itu sendiri (sebagai agama) diperlakukan sama. Meskipun ada tradisi kritik atau tradisi perbedaan pendapat, semuanya tetap dalam konteks “kebenaran Islam”. Kritik dilakukan terhadap paham, pandangan, dan aliran yang dianggap “telah menyimpang” dari kebenaran Islam, atau terhadap pandangan yang “salah paham” terhadap Islam.
Dalam konteks ini, semua sarjana non-muslim yang mendalami Islam disebut “orientalis”, dan orientalis umumnya selalu dipandang “buruk”, “negatif”, “jahat” karena dianggap salah paham tentang Islam, atau tidak paham Islam. Seorang orientalis akan dipuji-puji oleh tradisi keulamaan kalau hasil dari studi Islam mereka dianggap menguntungkan Islam atau memperkuat Islam. Mereka akan bilang, “Nah orientalis model begini inilah yang paham Islam atau mengakui kebenaran Islam. Tinggal kita tunggu saja dia baca syahadat”.
Ciri lain yang sangat menonjol pada tradisi keulamaan adalah bahwa tradisi ini sangat menghormati para ulama, apakah ulama yang sangat kuat ibadahnya, ulama yang mendalam ilmunya dan ulama penghasil ilmu seperti para imam-imam, baik dalam tradisi Sunni maupun Syiah. Penghormatan terhadap para ulama ini, yang seringkali berlebihan, dalam beberapa aspek “lebih penting” atau “lebih utama” dari ilmu yang kita dapatkan dari mereka. Karena itu motto yang masyhur adalah “Adab di atas ilmu”.
Dari fenomena penghormatan dan adab terhadap ulama, maka tidak ada sikap kritis terhadap ulama, termasuk terhadap imam dan ulama besar. Juga umumnya kurang kritis terhadap sumber kitab-kitab (klasik dan modern) yang udah dianggap pasti muktabar. Biasanya banyak kyai, gus atau ustadz akan ngomong, “Anda siapa berani-berani mengkritik imam Syafi’i? “Anda siapa berani mengkritik kitab A atau kitab B?” “Anda punya ilmu apa berani mengkritik imam Asy’ari, imam Ghazali, dan imam Bukhari? Ilmu anda belum ada sekuku-nya dibanding imam-imam itu!” Malah ada seorang ustadz yang populer di medsos menyatakan, “Awas ya untuk follower saya, kalau kamu berani mengkritik Syekh A atau Syekh B, kamu akan saya unfriend! Kamu gak punya adab! Ilmu kamu gak ada apa-apanya dibanding mereka!”
Umumnya kaum muslim belajar/mendalami Islam dalam 3 model. Apa yang saya maksud “belajar” atau “mendalami” agama Islam adalah cara atau proses (aspek metodologis) ketika (sedang) mendalami ilmu Islam, cara memperlakukannya, dan konsekwensi setelah mendapatkan ilmu-nya.
Pertama, kita menyebutnya sebagai “tradisi klerik” atau “tradisi keulamaan”. Ilmu, termasuk ilmu memahami Islam, dalam tradisi ini dianggap “sakral”, disebut “nur” atau cahaya (al’ilmu nuur: ilmu adalah cahaya) karena berasal dari Allah. Karena itu dalam proses “menerima” atau “mendapatkan” ilmu dianjurkan untuk berwudhu, menyucikan jiwa dari kotoran-kotoran jiwa, dan harus punya akhlak terhadap ilmu, supaya mendapat ilmu yang manfaat dan berkah. Mempelajari ilmu Islam berarti sedang “beribadah”. Tujuan mencari/mempelajari ilmu agama adalah untuk “memperkuat iman” atau mengajak masyarakat muslim untuk berperilaku sesuai ajaran Islam (Islami), atau pada level sosio-politik untuk membentuk/mengembangkan masyarakat muslim. Tujuan iman ini sangat penting dalam tradisi klerik. Jangan sampai orang belajar/mendalami agama, iman Islamnya malah copot, malah ragu-ragu terhadap kebenaran Islam, atau malah semakin jauh dari Tuhan. Jangan sampai kayak gitu. Belajar Islam harus menghasilkan iman yang semakin kuat dan perilaku yang semakin saleh.
Selain untuk memperkuat iman, ciri pokok tradisi keulamaan adalah bahwa “kebenaran Islam sudah final”, “sudah mutlak”, tidak boleh diganggu gugat. Jadi, ilmu (agama) dan iman adalah satu. Belajar agama ya untuk memperkuat agama, bukan malah “meragukan kebenaran agama”. Karena itu, tidak ada tradisi kritis, dalam arti tidak ada kebebasan akademik, karena data-data keilmuan, ilmu Islam itu sendiri dan Islam itu sendiri (sebagai agama) diperlakukan sama. Meskipun ada tradisi kritik atau tradisi perbedaan pendapat, semuanya tetap dalam konteks “kebenaran Islam”. Kritik dilakukan terhadap paham, pandangan, dan aliran yang dianggap “telah menyimpang” dari kebenaran Islam, atau terhadap pandangan yang “salah paham” terhadap Islam.
Dalam konteks ini, semua sarjana non-muslim yang mendalami Islam disebut “orientalis”, dan orientalis umumnya selalu dipandang “buruk”, “negatif”, “jahat” karena dianggap salah paham tentang Islam, atau tidak paham Islam. Seorang orientalis akan dipuji-puji oleh tradisi keulamaan kalau hasil dari studi Islam mereka dianggap menguntungkan Islam atau memperkuat Islam. Mereka akan bilang, “Nah orientalis model begini inilah yang paham Islam atau mengakui kebenaran Islam. Tinggal kita tunggu saja dia baca syahadat”.
Ciri lain yang sangat menonjol pada tradisi keulamaan adalah bahwa tradisi ini sangat menghormati para ulama, apakah ulama yang sangat kuat ibadahnya, ulama yang mendalam ilmunya dan ulama penghasil ilmu seperti para imam-imam, baik dalam tradisi Sunni maupun Syiah. Penghormatan terhadap para ulama ini, yang seringkali berlebihan, dalam beberapa aspek “lebih penting” atau “lebih utama” dari ilmu yang kita dapatkan dari mereka. Karena itu motto yang masyhur adalah “Adab di atas ilmu”.
Dari fenomena penghormatan dan adab terhadap ulama, maka tidak ada sikap kritis terhadap ulama, termasuk terhadap imam dan ulama besar. Juga umumnya kurang kritis terhadap sumber kitab-kitab (klasik dan modern) yang udah dianggap pasti muktabar. Biasanya banyak kyai, gus atau ustadz akan ngomong, “Anda siapa berani-berani mengkritik imam Syafi’i? “Anda siapa berani mengkritik kitab A atau kitab B?” “Anda punya ilmu apa berani mengkritik imam Asy’ari, imam Ghazali, dan imam Bukhari? Ilmu anda belum ada sekuku-nya dibanding imam-imam itu!” Malah ada seorang ustadz yang populer di medsos menyatakan, “Awas ya untuk follower saya, kalau kamu berani mengkritik Syekh A atau Syekh B, kamu akan saya unfriend! Kamu gak punya adab! Ilmu kamu gak ada apa-apanya dibanding mereka!”
“Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
QS 2:83
QS 2:83
Telegram