Ngaji Nahwu
Kajian Amtsilah Qur’aniyyah Liqowaid ‘Arabiyyah
Recent Posts
Channel name was changed to «
»قال رجل :أنا قاتلٌ غلامَك
قال آخر : أنا قاتلُ غلامِك
Diantara 2 laki2 itu siapakh yang benar sudah melakukan pembunuhan dan berhak dihukum?
Penjelasan lengkapnya ada bisa lihat disini
https://vt.tiktok.com/ZSepBK4Mq/
Semoga bermanfaat ya
قال آخر : أنا قاتلُ غلامِك
Diantara 2 laki2 itu siapakh yang benar sudah melakukan pembunuhan dan berhak dihukum?
Penjelasan lengkapnya ada bisa lihat disini
https://vt.tiktok.com/ZSepBK4Mq/
Semoga bermanfaat ya
Assalaamu 'alaikum. Mohon maaf, teman-teman. Untuk share materi nahwu pada hari Rabu, mungkin teman-teman bisa menunggu informasi dari Kak Annas. Terimakasih.
Assalaamu 'alaikum Wr. Wb.
Mohon maaf, teman2. Share materi nahwu di channel @nahwupedia untuk hari ini libur dulu. Pemateri sedang tidak enak badan. Terimakasih.
Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.
Mohon maaf, teman2. Share materi nahwu di channel @nahwupedia untuk hari ini libur dulu. Pemateri sedang tidak enak badan. Terimakasih.
Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.
📌Kesimpulan
Ada tiga keadaan yang memperbolehkan untuk memilih penggunaan dhamir muttashi atau dhamir munfashil, yaitu:
1. Ketika dhamir menjadi maf'ul bih kedua untuk fi'il yang muta'addi pada dua maf'ul bih, dan dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua tersebut pada asalnya bukan menjadi khabar.
2. Ketika dhamir menjadi maf'ul bih kedua untuk fi'il yang muta'addi pada dua maf'ul bih, dan dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua tersebut pada asalnya adalah menjadi khabar.
3. Ketika dhamir menjadi khabar untuk كَانَ dan saudara-saudaranya.
Dalam keadaan-keadaan tersebut, maka boleh memilih menggunakan dhamir muttashil atau munfashil.
وَ اللّٰهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Mudah-mudahan bermanfaat dan barakah. Aamiin.
Jika ada koreksi atau pertanyaan, silakan teman-teman sampaikan melalui grup diskusi.
Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.
Ada tiga keadaan yang memperbolehkan untuk memilih penggunaan dhamir muttashi atau dhamir munfashil, yaitu:
1. Ketika dhamir menjadi maf'ul bih kedua untuk fi'il yang muta'addi pada dua maf'ul bih, dan dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua tersebut pada asalnya bukan menjadi khabar.
2. Ketika dhamir menjadi maf'ul bih kedua untuk fi'il yang muta'addi pada dua maf'ul bih, dan dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua tersebut pada asalnya adalah menjadi khabar.
3. Ketika dhamir menjadi khabar untuk كَانَ dan saudara-saudaranya.
Dalam keadaan-keadaan tersebut, maka boleh memilih menggunakan dhamir muttashil atau munfashil.
وَ اللّٰهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Mudah-mudahan bermanfaat dan barakah. Aamiin.
Jika ada koreksi atau pertanyaan, silakan teman-teman sampaikan melalui grup diskusi.
Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.
✅c. Dhamir yang Menjadi Khabar untuk كَانَ dan Saudara-saudaranya
Jika khabar untuk كَانَ dan saudara-saudaranya adalah berupa dhamir, maka dhamir tersebut boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
Contoh:
كُنْتُهُ
Aku adalah dia.
Kalimat كُنْتُهُ terdiri atas kata-kata berikut ini.
- Kata كَانَ, yang merupakan fi'il madhi naqish, yang memiliki amal: merafa'kan isim dan menashabkan khabar.
- Dhamir تُ yang menjadi isim untuk كَانَ.
- Dhamir هـ yang menjadi khabar untuk كَانَ.
Karena khabar كَانَ berupa dhamir, yaitu dhamir هـ, maka dhamir tersebut boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
Terjadi perbedaan pendapat ulama nahwu tentang: dhamir apakah yang terpilih untuk menjadi khabar كَانَ? Diantara pendapat yang berbeda tersebut tidak ada pendapat yang lebih unggul.
🔹1) Imam Ibnu Malik Memilih Dhamir Muttashil
Dalam pembahasan tentang khabar كَانَ yang berupa dhamir ini, Imam Ibnu Malik memilih penggunaan dhamir muttashil.
Jadi, Imam Ibnu Malik memilih penggunaan kalimat:
كُنْتُهُ
Khabar كَانَ berupa dhamir muttashil: هـ.
🔹2) Imam Sibawaih Memilih Dhamir Munfashil
Dalam pembahasan tentang khabar كَانَ yang berupa dhamir ini, Imam Sibawaih memilih penggunaan dhamir munfashil.
Jadi, Imam Sibawaih memilih penggunaan kalimat:
كُنْتُ إِيَّاهُ
Khabar كَانَ berupa dhamir munfashil: إِيَّاهُ.
Jika khabar untuk كَانَ dan saudara-saudaranya adalah berupa dhamir, maka dhamir tersebut boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
Contoh:
كُنْتُهُ
Aku adalah dia.
Kalimat كُنْتُهُ terdiri atas kata-kata berikut ini.
- Kata كَانَ, yang merupakan fi'il madhi naqish, yang memiliki amal: merafa'kan isim dan menashabkan khabar.
- Dhamir تُ yang menjadi isim untuk كَانَ.
- Dhamir هـ yang menjadi khabar untuk كَانَ.
Karena khabar كَانَ berupa dhamir, yaitu dhamir هـ, maka dhamir tersebut boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
Terjadi perbedaan pendapat ulama nahwu tentang: dhamir apakah yang terpilih untuk menjadi khabar كَانَ? Diantara pendapat yang berbeda tersebut tidak ada pendapat yang lebih unggul.
🔹1) Imam Ibnu Malik Memilih Dhamir Muttashil
Dalam pembahasan tentang khabar كَانَ yang berupa dhamir ini, Imam Ibnu Malik memilih penggunaan dhamir muttashil.
Jadi, Imam Ibnu Malik memilih penggunaan kalimat:
كُنْتُهُ
Khabar كَانَ berupa dhamir muttashil: هـ.
🔹2) Imam Sibawaih Memilih Dhamir Munfashil
Dalam pembahasan tentang khabar كَانَ yang berupa dhamir ini, Imam Sibawaih memilih penggunaan dhamir munfashil.
Jadi, Imam Sibawaih memilih penggunaan kalimat:
كُنْتُ إِيَّاهُ
Khabar كَانَ berupa dhamir munfashil: إِيَّاهُ.
Assalaamu 'alaikum Wr. Wb.
Alhamdu lillaah, di siang hari kedua bulan Ramadhan ini kita dapat kembali melanjutkan belajar nahwu bersama.
Kita masih melanjutkan materi tentang keadaan yang memperbolehkan penggunaan dhamir muttashil atau dhamir munfashil. Berikut ini lanjutannya.
✅b. Dhamir yang Menjadi Maf'ul Bih Kedua untuk Fi'il Muta'addi pada Dua Maf'ul Bih, dan Dhamir tersebut pada Asalnya Merupakan Khabar
Pada pembahasan 3.a telah disebutkan bahwa jika ada fi'il yang muta'addi pada 2 maf'ul bih (membutuhkan 2 maf'ul bih), dan maf'ul bih yang kedua dari 2 maf'ul bih tersebut pada asalnya BUKAN merupakan khabar, maka maf'ul bih yang kedua boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
Demikian juga jika ada fi'il yang muta'addi pada 2 maf'ul bih (membutuhkan 2 maf'ul bih), dan maf'ul bih yang kedua dari 2 maf'ul bih tersebut pada asalnya merupakan khabar, maka maf'ul bih yang kedua boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
Contoh:
خِلْتَنِيْهِ
Kamu menyangka aku sebagai dia.
Kalimat خِلْتَنِيْهِ terdiri atas kata-kata berikut ini.
(1) Kata خَالَ
Fi'il madhi yang berupa kata خَالَ merupakan fi'il yang termasuk diantara saudara-saudara ظَنَّ.
Artinya, kata خَالَ juga beramal sebagaimana amal ظَنَّ, yaitu:
- Menashabkan mubtada, untuk menjadi maf'ul bih yang pertama.
- Menashabkan khabar, untuk menjadi maf'ul bih yang kedua.
Jadi, kata خَال membutuhkan 2 maf'ul bih:
- Maf'ul bih yang pertama adalah Ya" mutakallim.
- Maf'ul bih yang kedua adalah dhamir هـ.
(2) Dhamir تَ yang menjadi fa'il untuk خَالَ.
(3) Dhamir Ya" mutakallim yang menjadi maf'ul bih pertama untuk خَالَ. Huruf Nun yang terletak sebelum Ya" mutakallim adalah Nun wiqayah.
Pada asalnya, dhamir mutakallim yang menjadi maf'ul bih pertama ini adalah berkedudukan sebagai mubtada.
(4) Dhamir هـ yang menjadi maf'ul bih kedua untuk خَالَ.
Pada asalnya, dhamir هـ yang menjadi maf'ul bih kedua ini adalah berkedudukan sebagai khabar untuk mubtada.
Sesudah kata خَالَ masuk pada rangkaian mubtada dan khabar tersebut, maka mubtada berubah menjadi maf'ul bih yang pertama, sedangkan khabar berubah menjadi maf'ul bih yang kedua.
Terjadi perbedaan pendapat ulama nahwu tentang dhamir apakah yang sebaiknya menjadi maf'ul bih kedua untuk kata خَالَ.
🔹1) Imam Ibnu Malik Memilih Dhamir Muttashil
Dalam pembahasan tentang dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua untuk خَالَ ini, Imam Ibnu Malik memilih penggunaan dhamir muttashil.
Jadi, Imam Ibnu Malik memilih penggunaan kalimat:
خِلْتَنِيْهِ
Maf'ul bih kedua untuk خَالَ adalah dhamir muttashil: هـ.
🔹2) Imam Sibawaih Memilih Dhamir Munfashil
Dalam pembahasan tentang dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua untuk خَالَ ini, Imam Sibawaih memilih penggunaan dhamir munfashil.
Pendapat Imam Sibawaih, yang memilih penggunaan dhamir munfashil dalam pembahasan ini, adalah lebih unggul daripada pendapat yang memilih penggunaan dhamir muttashil.
Jadi, Imam Sibawaih memilih penggunaan kalimat:
خِلْتَنِيْ إيَّاهُ
Maf'ul bih kedua untuk خَالَ adalah dhamir munfashil: إِيَّاهُ.
Alhamdu lillaah, di siang hari kedua bulan Ramadhan ini kita dapat kembali melanjutkan belajar nahwu bersama.
Kita masih melanjutkan materi tentang keadaan yang memperbolehkan penggunaan dhamir muttashil atau dhamir munfashil. Berikut ini lanjutannya.
✅b. Dhamir yang Menjadi Maf'ul Bih Kedua untuk Fi'il Muta'addi pada Dua Maf'ul Bih, dan Dhamir tersebut pada Asalnya Merupakan Khabar
Pada pembahasan 3.a telah disebutkan bahwa jika ada fi'il yang muta'addi pada 2 maf'ul bih (membutuhkan 2 maf'ul bih), dan maf'ul bih yang kedua dari 2 maf'ul bih tersebut pada asalnya BUKAN merupakan khabar, maka maf'ul bih yang kedua boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
Demikian juga jika ada fi'il yang muta'addi pada 2 maf'ul bih (membutuhkan 2 maf'ul bih), dan maf'ul bih yang kedua dari 2 maf'ul bih tersebut pada asalnya merupakan khabar, maka maf'ul bih yang kedua boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
Contoh:
خِلْتَنِيْهِ
Kamu menyangka aku sebagai dia.
Kalimat خِلْتَنِيْهِ terdiri atas kata-kata berikut ini.
(1) Kata خَالَ
Fi'il madhi yang berupa kata خَالَ merupakan fi'il yang termasuk diantara saudara-saudara ظَنَّ.
Artinya, kata خَالَ juga beramal sebagaimana amal ظَنَّ, yaitu:
- Menashabkan mubtada, untuk menjadi maf'ul bih yang pertama.
- Menashabkan khabar, untuk menjadi maf'ul bih yang kedua.
Jadi, kata خَال membutuhkan 2 maf'ul bih:
- Maf'ul bih yang pertama adalah Ya" mutakallim.
- Maf'ul bih yang kedua adalah dhamir هـ.
(2) Dhamir تَ yang menjadi fa'il untuk خَالَ.
(3) Dhamir Ya" mutakallim yang menjadi maf'ul bih pertama untuk خَالَ. Huruf Nun yang terletak sebelum Ya" mutakallim adalah Nun wiqayah.
Pada asalnya, dhamir mutakallim yang menjadi maf'ul bih pertama ini adalah berkedudukan sebagai mubtada.
(4) Dhamir هـ yang menjadi maf'ul bih kedua untuk خَالَ.
Pada asalnya, dhamir هـ yang menjadi maf'ul bih kedua ini adalah berkedudukan sebagai khabar untuk mubtada.
Sesudah kata خَالَ masuk pada rangkaian mubtada dan khabar tersebut, maka mubtada berubah menjadi maf'ul bih yang pertama, sedangkan khabar berubah menjadi maf'ul bih yang kedua.
Terjadi perbedaan pendapat ulama nahwu tentang dhamir apakah yang sebaiknya menjadi maf'ul bih kedua untuk kata خَالَ.
🔹1) Imam Ibnu Malik Memilih Dhamir Muttashil
Dalam pembahasan tentang dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua untuk خَالَ ini, Imam Ibnu Malik memilih penggunaan dhamir muttashil.
Jadi, Imam Ibnu Malik memilih penggunaan kalimat:
خِلْتَنِيْهِ
Maf'ul bih kedua untuk خَالَ adalah dhamir muttashil: هـ.
🔹2) Imam Sibawaih Memilih Dhamir Munfashil
Dalam pembahasan tentang dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua untuk خَالَ ini, Imam Sibawaih memilih penggunaan dhamir munfashil.
Pendapat Imam Sibawaih, yang memilih penggunaan dhamir munfashil dalam pembahasan ini, adalah lebih unggul daripada pendapat yang memilih penggunaan dhamir muttashil.
Jadi, Imam Sibawaih memilih penggunaan kalimat:
خِلْتَنِيْ إيَّاهُ
Maf'ul bih kedua untuk خَالَ adalah dhamir munfashil: إِيَّاهُ.
📌Kesimpulan
Jika ada fi'il muta'addi pada dua maf'ul bih, dan maf'ul bih yang kedua pada asalnya bukan merupakan khabar, maka dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua untuk fi'il tersebut boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil. Menggunakan salah satu dari keduanya sama saja, tidak ada yang lebih diutamakan. Sama-sama boleh.
Demikian ini adalah pendapat mayoritas ulama nahwu.
Namun, menurut Imam Sibawaih, keadaan tersebut mengharuskan untuk menggunakan dhamir muttashil, sedangkan menggunakan dhamir munfashil itu dikhususkan untuk syi'ir.
وَ اللّٰهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Demikianlah materi nahwu hari ini. Mudah-mudahan bermanfaat dan barakah. Aamiin.
Mohon maaf, jika ada kesalahan.
Koreksi atau pertanyaan silakan teman-teman sampaikan di grup diskusi.
Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.
Jika ada fi'il muta'addi pada dua maf'ul bih, dan maf'ul bih yang kedua pada asalnya bukan merupakan khabar, maka dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua untuk fi'il tersebut boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil. Menggunakan salah satu dari keduanya sama saja, tidak ada yang lebih diutamakan. Sama-sama boleh.
Demikian ini adalah pendapat mayoritas ulama nahwu.
Namun, menurut Imam Sibawaih, keadaan tersebut mengharuskan untuk menggunakan dhamir muttashil, sedangkan menggunakan dhamir munfashil itu dikhususkan untuk syi'ir.
وَ اللّٰهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Demikianlah materi nahwu hari ini. Mudah-mudahan bermanfaat dan barakah. Aamiin.
Mohon maaf, jika ada kesalahan.
Koreksi atau pertanyaan silakan teman-teman sampaikan di grup diskusi.
Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.
🔹2) Contoh yang Kedua
Kata lain yang serupa dengan kata اسْأَلْ atau سَلْ adalah kata:
أَعْطَى
pada kalimat:
الدِّرْهَمُ أَعْطَيْتُكَهُ
Dirham, aku telah memberikannya kepadamu.
yaitu merupakan fi'il yang muta'addi pada 2 maf'ul bih, dan maf'ul bih yang kedua pada asalnya bukan merupakan khabar.
Kata-kata yang menyusun contoh kedua ini adalah sebagai berikut.
- kata أَعْطَى
- dhamir ت yang menjadi fa'il
- dhamir ك
- dhamir هـ
Ada dua maf'ul bih pada contoh tersebut, yaitu:
- Maf'ul bih yang pertama adalah dhamir ك.
- Maf'ul bih yang kedua adalah dhamir هـ.
Penjelasannya hampir sama dengan penjelasan pada contoh yang pertama. Tinggal mengubah fi'ilnya saja.
- Pada contoh yang pertama, fi'ilnya berupa fi'il amar, yaitu:
اسْأَلْ
atau:
سَلْ
- Pada contoh yang kedua ini fi'ilnya berupa fi'il madhi, yaitu:
أَعْطَى
Ringkasnya, dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua untuk kata أَعْطَى itu pada asalnya bukan merupakan khabar. Oleh karena itu, dhamir kedua tersebut boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
- Jika maf'ul bih yang kedua berupa dhamir muttashil, maka kalimatnya adalah:
أَعْطَيْتُكَهُ
Jadi, kalimat lengkapnya adalah:
الدِّرْهَمُ أَعْطَيْتُكَهُ
- Jika maf'ul bih yang kedua berupa dhamir muttashil, maka kalimatnya adalah:
أَعْطَيْتُكَ إيَّاهُ
Jadi, kalimat lengkapnya adalah:
الدِّرْهَمُ أَعْطَيْتُكَ إِيَّاهُ
Kata lain yang serupa dengan kata اسْأَلْ atau سَلْ adalah kata:
أَعْطَى
pada kalimat:
الدِّرْهَمُ أَعْطَيْتُكَهُ
Dirham, aku telah memberikannya kepadamu.
yaitu merupakan fi'il yang muta'addi pada 2 maf'ul bih, dan maf'ul bih yang kedua pada asalnya bukan merupakan khabar.
Kata-kata yang menyusun contoh kedua ini adalah sebagai berikut.
- kata أَعْطَى
- dhamir ت yang menjadi fa'il
- dhamir ك
- dhamir هـ
Ada dua maf'ul bih pada contoh tersebut, yaitu:
- Maf'ul bih yang pertama adalah dhamir ك.
- Maf'ul bih yang kedua adalah dhamir هـ.
Penjelasannya hampir sama dengan penjelasan pada contoh yang pertama. Tinggal mengubah fi'ilnya saja.
- Pada contoh yang pertama, fi'ilnya berupa fi'il amar, yaitu:
اسْأَلْ
atau:
سَلْ
- Pada contoh yang kedua ini fi'ilnya berupa fi'il madhi, yaitu:
أَعْطَى
Ringkasnya, dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua untuk kata أَعْطَى itu pada asalnya bukan merupakan khabar. Oleh karena itu, dhamir kedua tersebut boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
- Jika maf'ul bih yang kedua berupa dhamir muttashil, maka kalimatnya adalah:
أَعْطَيْتُكَهُ
Jadi, kalimat lengkapnya adalah:
الدِّرْهَمُ أَعْطَيْتُكَهُ
- Jika maf'ul bih yang kedua berupa dhamir muttashil, maka kalimatnya adalah:
أَعْطَيْتُكَ إيَّاهُ
Jadi, kalimat lengkapnya adalah:
الدِّرْهَمُ أَعْطَيْتُكَ إِيَّاهُ
Dua maf'ul bih untuk kata اسْأَلْ, yaitu dhamir Ya" mutakallim dan dhamir هـ, itu pada asalnya bukan merupakan mubtada dan khabar.
Hal itu berbeda dengan 2 maf'ul bih untuk ظَنَّ dan saudara-saudaranya. Karena 2 maf'ul bih untuk ظَنَّ dan saudara-saudaranya itu pada asalnya merupakan rangkaian mubtada dan khabar.
Pembahasan ظَنَّ dan saudara-saudaranya dapat teman-teman baca di kitab-kitab nahwu, karena dalam channel ini belum sampai pada pembahasan ظَنَّ dan saudara-saudaranya.
Baik, kita kembali lagi pada contoh dhamir.
Jadi, pada asalnya, dhamir Ya" mutakallim dan dhamir هـ itu bukan merupakan rangkaian mubtada dan khabar.
Umpama 2 maf'ul bih untuk kata:
اسْأَلْ
itu merupakan rangkaian mubtada dan khabar, maka mubtada berubah menjadi maf'ul bih yang pertama, dan khabar berubah menjadi maf'ul bih yang kedua.
Berhubung dua maf'ul bih untuk kata اسْأَلْ itu pada asalnya bukan merupakan rangkaian mubtada dan khabar, maka berarti:
- Maf'ul bih yang pertama (Ya" mutakallim) itu pada asalnya bukan merupakan mubtada,
- Dan maf'ul bih yang kedua (dhamir هـ) itu pada asalnya bukan merupakan khabar.
Nah, karena maf'ul bih yang kedua (dhamir هـ) untuk kata:
اسْأَلْ
itu pada asalnya bukan merupakan khabar, maka dhamir yang menjadi maf'ul bih yang kedua tersebut boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
- Jika maf'ul bih yang kedua berupa dhamir muttashil, maka kalimatnya adalah:
سَلْنِيْهِ
Jadi, kalimat lengkapnya adalah:
الدِّرْهَمُ سَلْنِيْهِ
- Jika maf'ul bih yang kedua berupa dhamir munfashil, maka kalimatnya adalah:
سَلْنِيْ إِيَّاهُ
Jadi, kalimat lengkapnya adalah:
الدِّرْهَمُ سَلْنِيْ إِيَّاهُ
Hal itu berbeda dengan 2 maf'ul bih untuk ظَنَّ dan saudara-saudaranya. Karena 2 maf'ul bih untuk ظَنَّ dan saudara-saudaranya itu pada asalnya merupakan rangkaian mubtada dan khabar.
Pembahasan ظَنَّ dan saudara-saudaranya dapat teman-teman baca di kitab-kitab nahwu, karena dalam channel ini belum sampai pada pembahasan ظَنَّ dan saudara-saudaranya.
Baik, kita kembali lagi pada contoh dhamir.
Jadi, pada asalnya, dhamir Ya" mutakallim dan dhamir هـ itu bukan merupakan rangkaian mubtada dan khabar.
Umpama 2 maf'ul bih untuk kata:
اسْأَلْ
itu merupakan rangkaian mubtada dan khabar, maka mubtada berubah menjadi maf'ul bih yang pertama, dan khabar berubah menjadi maf'ul bih yang kedua.
Berhubung dua maf'ul bih untuk kata اسْأَلْ itu pada asalnya bukan merupakan rangkaian mubtada dan khabar, maka berarti:
- Maf'ul bih yang pertama (Ya" mutakallim) itu pada asalnya bukan merupakan mubtada,
- Dan maf'ul bih yang kedua (dhamir هـ) itu pada asalnya bukan merupakan khabar.
Nah, karena maf'ul bih yang kedua (dhamir هـ) untuk kata:
اسْأَلْ
itu pada asalnya bukan merupakan khabar, maka dhamir yang menjadi maf'ul bih yang kedua tersebut boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
- Jika maf'ul bih yang kedua berupa dhamir muttashil, maka kalimatnya adalah:
سَلْنِيْهِ
Jadi, kalimat lengkapnya adalah:
الدِّرْهَمُ سَلْنِيْهِ
- Jika maf'ul bih yang kedua berupa dhamir munfashil, maka kalimatnya adalah:
سَلْنِيْ إِيَّاهُ
Jadi, kalimat lengkapnya adalah:
الدِّرْهَمُ سَلْنِيْ إِيَّاهُ
Assalaamu 'alaikum Wr. Wb.
Alhamdu lillaah, pada pagi ini kita akan melanjutkan belajar nahwu.
Masih melanjutkan tentang dhamir.
Kemarin kita sudah mengetahui bahwa ada keadaan yang lebih utam menggunakan dhamir mutashil, dan ada keadaan-keadaan tertentu yang mengharuskan untuk menggunakan dhamir munfashil.
Hari ini kita akan membahas keadaan yang memperbolehkan penggunaan dhamir muttashil maupun munfashil. Berikut ini pembahasannya.
3⃣Boleh Menggunakan Dhamir Muttashil atau Munfashil
Boleh memilih menggunakan dhamir muttashil atau munfashil dalam keadaan-keadaan berikut ini.
✅a. Dhamir yang Menjadi Maf'ul Bih Kedua untuk Amil yang Berupa Fi'il Muta'addi pada Dua Maf'ul Bih
Jika ada fi'il yang muta'addi pada 2 maf'ul bih (membutuhkan 2 maf'ul bih), dan maf'ul bih yang kedua dari 2 maf'ul bih tersebut pada asalnya bukan merupakan khabar, maka maf'ul bih yang kedua boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
Berikut ini contoh-contoh dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua untuk fi'il muta'addi pada 2 maf'ul bih.
🔹1) Contoh yang Pertama
Silakan teman-teman perhatikan contoh berikut ini.
الدِّرْهَمُ سَلْنِيْهِ
Dirham, mintalah dirham kepadaku.
Fokus contoh adalah pada kalimat:
سَلْنِيْهِ
yang kata-kata penyusun kalimatnya terdiri atas kata-kata berikut ini.
- Kata اِسْأَلْ yang dii'lal menjadi:
سَلْ
Proses i'lal untuk kata اسْأَلْ berubah menjadi سَلْ itu dapat teman-teman pelajari pada ilmu sharaf.
- Kata نِيْ yang terdiri atas dhamir Ya" mutakallim dan Nun wiqayah
- Dhamir هـ
Fi'il amar yang berupa kata:
اسْأَلْ
atau:
سَلْ
merupakan fi'il yang membutuhkan 2 maf'ul bih berikut ini.
- Maf'ul bih yang pertama adalah Ya" mutakallim. Huruf Nun yang terletak sebelum Ya" mutakallim adalah Nun wiqayah.
- Maf'ul bih yang kedua adalah dhamir هـ.
Alhamdu lillaah, pada pagi ini kita akan melanjutkan belajar nahwu.
Masih melanjutkan tentang dhamir.
Kemarin kita sudah mengetahui bahwa ada keadaan yang lebih utam menggunakan dhamir mutashil, dan ada keadaan-keadaan tertentu yang mengharuskan untuk menggunakan dhamir munfashil.
Hari ini kita akan membahas keadaan yang memperbolehkan penggunaan dhamir muttashil maupun munfashil. Berikut ini pembahasannya.
3⃣Boleh Menggunakan Dhamir Muttashil atau Munfashil
Boleh memilih menggunakan dhamir muttashil atau munfashil dalam keadaan-keadaan berikut ini.
✅a. Dhamir yang Menjadi Maf'ul Bih Kedua untuk Amil yang Berupa Fi'il Muta'addi pada Dua Maf'ul Bih
Jika ada fi'il yang muta'addi pada 2 maf'ul bih (membutuhkan 2 maf'ul bih), dan maf'ul bih yang kedua dari 2 maf'ul bih tersebut pada asalnya bukan merupakan khabar, maka maf'ul bih yang kedua boleh berupa dhamir muttashil atau dhamir munfashil.
Berikut ini contoh-contoh dhamir yang menjadi maf'ul bih kedua untuk fi'il muta'addi pada 2 maf'ul bih.
🔹1) Contoh yang Pertama
Silakan teman-teman perhatikan contoh berikut ini.
الدِّرْهَمُ سَلْنِيْهِ
Dirham, mintalah dirham kepadaku.
Fokus contoh adalah pada kalimat:
سَلْنِيْهِ
yang kata-kata penyusun kalimatnya terdiri atas kata-kata berikut ini.
- Kata اِسْأَلْ yang dii'lal menjadi:
سَلْ
Proses i'lal untuk kata اسْأَلْ berubah menjadi سَلْ itu dapat teman-teman pelajari pada ilmu sharaf.
- Kata نِيْ yang terdiri atas dhamir Ya" mutakallim dan Nun wiqayah
- Dhamir هـ
Fi'il amar yang berupa kata:
اسْأَلْ
atau:
سَلْ
merupakan fi'il yang membutuhkan 2 maf'ul bih berikut ini.
- Maf'ul bih yang pertama adalah Ya" mutakallim. Huruf Nun yang terletak sebelum Ya" mutakallim adalah Nun wiqayah.
- Maf'ul bih yang kedua adalah dhamir هـ.
✅j. Dhamir yang Terletak Sesudah Lam Fariqah
Jika ada dhamir yang terletak sesudah Lam fariqah, maka dhamir tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil.
Contoh:
إِنْ وَجَدْتُ الصَّدِيْقَ حَقًّا لَإِيَّا * كَ، فَمُرْ نِيْ فَلَنْ أَزَالَ مُطِيْعَا
Pada contoh tersebut, dhamir yang terletak sesudah Lam fariqah adalah dhamir bariz munfashil, yaitu إِيَّاكَ.
Saya belum menemukan keterangan lebih lanjut tentang Lam fariqah. Jika diantara teman-teman ada yang bisa menjelaskan tentang Lam fariqah, silakan teman-teman share di grup diskusi.
Demikianlah materi nahwu hari ini. Mudah-mudahan bermanfaat dan barakah. Aamiin.
وَ اللّٰهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Masih ada ketentuan-ketentuan lainnya tentang penggunaan dhamir. InsyaAllah akan kita pelajari pada materi nahwu berikutnya.
Jika ada kesalahan, mohon maaf.
Koreksi atau pertanyaan, silakan teman-teman sampaikan melalui grup diskusi.
Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.
Jika ada dhamir yang terletak sesudah Lam fariqah, maka dhamir tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil.
Contoh:
إِنْ وَجَدْتُ الصَّدِيْقَ حَقًّا لَإِيَّا * كَ، فَمُرْ نِيْ فَلَنْ أَزَالَ مُطِيْعَا
Pada contoh tersebut, dhamir yang terletak sesudah Lam fariqah adalah dhamir bariz munfashil, yaitu إِيَّاكَ.
Saya belum menemukan keterangan lebih lanjut tentang Lam fariqah. Jika diantara teman-teman ada yang bisa menjelaskan tentang Lam fariqah, silakan teman-teman share di grup diskusi.
Demikianlah materi nahwu hari ini. Mudah-mudahan bermanfaat dan barakah. Aamiin.
وَ اللّٰهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Masih ada ketentuan-ketentuan lainnya tentang penggunaan dhamir. InsyaAllah akan kita pelajari pada materi nahwu berikutnya.
Jika ada kesalahan, mohon maaf.
Koreksi atau pertanyaan, silakan teman-teman sampaikan melalui grup diskusi.
Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.
✅i. Dhamir yang Terletak Sesudah أَمَّا
Jika ada dhamir yang terletak sesudah أَمَّا, maka dhamir tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil.
Contoh:
أَمَّا أَنَا فَشَاعِرٌ، وَ أَمَّا أَنْتَ فَكَاتِبٌ، وَ أَمَّا هُوَ فَنَحْوِيٌّ
Pada contoh tersebut, semua dhamir yang terletek sesudah أَمَّا adalah dhamir bariz munfashil, yaitu dhamir:
أَنَا
أَنْتَ
هُوَ
Jika ada dhamir yang terletak sesudah أَمَّا, maka dhamir tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil.
Contoh:
أَمَّا أَنَا فَشَاعِرٌ، وَ أَمَّا أَنْتَ فَكَاتِبٌ، وَ أَمَّا هُوَ فَنَحْوِيٌّ
Pada contoh tersebut, semua dhamir yang terletek sesudah أَمَّا adalah dhamir bariz munfashil, yaitu dhamir:
أَنَا
أَنْتَ
هُوَ
✅h. Dhamir yang Terletak Sesudah Wawu Ma'iyyah
Jika ada dhamir yang terletak sesudah Wawu ma'iyyah (Wawu yang berfungsi untuk menunjukkan kebersamaan atau beriringan), maka dhamir tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil.
Contoh:
فَأٰلَيْتُ لَا أَنْفَكُّ أَحْذُوْ قَصِيْدَةً * تَكُوْنُ وَ إِيَّاهَا بِهَا مَثَلًا بَعْدِيْ
Dalam contoh tersebut, dhamir:
إِيَّاهَا
merupakan dhamir bariz munfashil yang terletak sesudah Wawu ma'iyyah sehingga tidak boleh ditulis menggunakan dhamir muttashil.
Jika ada dhamir yang terletak sesudah Wawu ma'iyyah (Wawu yang berfungsi untuk menunjukkan kebersamaan atau beriringan), maka dhamir tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil.
Contoh:
فَأٰلَيْتُ لَا أَنْفَكُّ أَحْذُوْ قَصِيْدَةً * تَكُوْنُ وَ إِيَّاهَا بِهَا مَثَلًا بَعْدِيْ
Dalam contoh tersebut, dhamir:
إِيَّاهَا
merupakan dhamir bariz munfashil yang terletak sesudah Wawu ma'iyyah sehingga tidak boleh ditulis menggunakan dhamir muttashil.
✅g. Dhamir yang Terpisah dari Amilnya, oleh Ma'mul yang Lain
Jika suatu amil memiliki ma'mul:
- berupa dhamir
- dan berupa ma'mul lainnya,
Kemudian diantara amil dan ma'mul yang berupa dhamir itu terpisah oleh ma'mul lainnya, maka dhamir yang menjadi ma'mul untuk amil tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil.
Contoh:
يُخْرِجُوْنَ الرَّسُوْلَ وَ إِيَّاكُمْ
Kata يُخْرِجُوْنَ merupakan amil untuk:
- kata الرَّسُوْلَ
- dan dhamir إِيَّاكُمْ
Dalam contoh tersebut, diantara amil dan ma'mul yang berupa dhamir terpisah oleh ma'mul lain, yaitu terpisah oleh ma'mul yang berupa kata الرَّسُوْلَ. Oleh karena itu, dhamir yang menjadi ma'mul untuk amil tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil, yaitu إِيَّاكُمْ.
Jika suatu amil memiliki ma'mul:
- berupa dhamir
- dan berupa ma'mul lainnya,
Kemudian diantara amil dan ma'mul yang berupa dhamir itu terpisah oleh ma'mul lainnya, maka dhamir yang menjadi ma'mul untuk amil tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil.
Contoh:
يُخْرِجُوْنَ الرَّسُوْلَ وَ إِيَّاكُمْ
Kata يُخْرِجُوْنَ merupakan amil untuk:
- kata الرَّسُوْلَ
- dan dhamir إِيَّاكُمْ
Dalam contoh tersebut, diantara amil dan ma'mul yang berupa dhamir terpisah oleh ma'mul lain, yaitu terpisah oleh ma'mul yang berupa kata الرَّسُوْلَ. Oleh karena itu, dhamir yang menjadi ma'mul untuk amil tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil, yaitu إِيَّاكُمْ.
✅f. Dhamir yang Amilnya Berupa Nafi
Jika amil untuk suatu dhamir adalah berupa nafi, maka dhamir yang menjadi ma'mul untuk amil tersebut harus berupa dhamir munfashil.
Contoh (1):
وَ مَا أَنَا بِطَارِدِ الْمُؤْمِنِيْنَ
Dhamir أَنَا dalam contoh tersebut menjadi ma'mul untuk amil yang berupa nafi, yaitu huruf nafi berupa مَا.
Karena dalam contoh tersebut amil berupa nafi, maka ma'mulnya harus berupa dhamir bariz munfashil, yaitu أَنَا.
Contoh (2):
إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيْرٌ مُبِيْنٌ
Dhamir أَنَا dalam contoh tersebut menjadi ma'mul untuk amil yang berupa nafi, yaitu huruf nafi إِنْ.
Karena dalam contoh tersebut amil berupa nafi, maka ma'mulnya harus berupa dhamir bariz munfashil, yaitu أَنَا.
Jika amil untuk suatu dhamir adalah berupa nafi, maka dhamir yang menjadi ma'mul untuk amil tersebut harus berupa dhamir munfashil.
Contoh (1):
وَ مَا أَنَا بِطَارِدِ الْمُؤْمِنِيْنَ
Dhamir أَنَا dalam contoh tersebut menjadi ma'mul untuk amil yang berupa nafi, yaitu huruf nafi berupa مَا.
Karena dalam contoh tersebut amil berupa nafi, maka ma'mulnya harus berupa dhamir bariz munfashil, yaitu أَنَا.
Contoh (2):
إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيْرٌ مُبِيْنٌ
Dhamir أَنَا dalam contoh tersebut menjadi ma'mul untuk amil yang berupa nafi, yaitu huruf nafi إِنْ.
Karena dalam contoh tersebut amil berupa nafi, maka ma'mulnya harus berupa dhamir bariz munfashil, yaitu أَنَا.
✅e. Dhamir yang Amilnya Berupa Amil Ma'nawi
Suatu dhamir dapat memiliki amil yang berupa amil ma'nawi adalah jika dhamir tersebut menjadi mubtada. Amilnya adalah amil ma'nawi ibtida.
Contoh:
اللّٰهُمَّ أَنَا عَبْدٌ أَثِيْمٌ، وَ أَنْتَ مَوْلَى كَرِيْمٌ
Dhamir أَنَا dan أَنْتَ adalah berkedudukan sebagai mubtada.
Amil untuk masing-masing dari dua dhamir tersebut adalah amil ma'nawi ibtida sehingga dua dhamir tersebut bermahal rafa', sebagai mubtada.
Suatu dhamir dapat memiliki amil yang berupa amil ma'nawi adalah jika dhamir tersebut menjadi mubtada. Amilnya adalah amil ma'nawi ibtida.
Contoh:
اللّٰهُمَّ أَنَا عَبْدٌ أَثِيْمٌ، وَ أَنْتَ مَوْلَى كَرِيْمٌ
Dhamir أَنَا dan أَنْتَ adalah berkedudukan sebagai mubtada.
Amil untuk masing-masing dari dua dhamir tersebut adalah amil ma'nawi ibtida sehingga dua dhamir tersebut bermahal rafa', sebagai mubtada.
✅d. Dhamir yang Amilnya Diakhirkan
Jika amil untuk suatu dhamir adalah berupa amil yang diakhirkan dari dhamirnya, yaitu penyebutan dhamir mendahului amilnya, maka dhamir yang menjadi ma'mul untuk amil tersebut harus berupa dhamir munfashil.
Contoh:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
Amil pada contoh tersebut adalah kata:
نَعْبُدُ
نَسْتَعِيْنُ
Masing-masing dari dua amil tersebut diakhirkan dari dhamir yang menjadi ma'mulnya. Oleh karena itu, dhamir yang digunakan harus berupa dhamir munfashil, yaitu kata إِيَّاكَ, yang bermahal nashab karena menjadi maf'ul bih untuk masing-masing dari dua amil tersebut. Tidak boleh berupa dhamir muttashil.
Jika amil untuk suatu dhamir adalah berupa amil yang diakhirkan dari dhamirnya, yaitu penyebutan dhamir mendahului amilnya, maka dhamir yang menjadi ma'mul untuk amil tersebut harus berupa dhamir munfashil.
Contoh:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
Amil pada contoh tersebut adalah kata:
نَعْبُدُ
نَسْتَعِيْنُ
Masing-masing dari dua amil tersebut diakhirkan dari dhamir yang menjadi ma'mulnya. Oleh karena itu, dhamir yang digunakan harus berupa dhamir munfashil, yaitu kata إِيَّاكَ, yang bermahal nashab karena menjadi maf'ul bih untuk masing-masing dari dua amil tersebut. Tidak boleh berupa dhamir muttashil.
✅c. Dhamir yang Amilnya Tersimpan
Jika amil untuk suatu dhamir adalah berupa amil yang tersimpan, maka dhamir yang menjadi ma'mul untuk amil tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil.
Contoh:
Syair berikut ini adalah contoh dhamir yang amilnya tersimpan.
فَإِنْ أَنْتَ لَمْ يَنْفَعْكَ عِلْمُكَ فَانْتَسِبْ * لَعَلَّكَ تَهْدِيْكَ الْقُرُوْنُ الْأَوَائِلُ
Ada amil yang tersimpan sebelum dhamir أَنْتَ. Namun, tidak disebutkan apa perkiraan amilnya.
Jika amil untuk suatu dhamir adalah berupa amil yang tersimpan, maka dhamir yang menjadi ma'mul untuk amil tersebut harus berupa dhamir bariz munfashil.
Contoh:
Syair berikut ini adalah contoh dhamir yang amilnya tersimpan.
فَإِنْ أَنْتَ لَمْ يَنْفَعْكَ عِلْمُكَ فَانْتَسِبْ * لَعَلَّكَ تَهْدِيْكَ الْقُرُوْنُ الْأَوَائِلُ
Ada amil yang tersimpan sebelum dhamir أَنْتَ. Namun, tidak disebutkan apa perkiraan amilnya.
✅b. Dhamir Dirafa'kan oleh Mashdar yang Disandarkan pada Kata yang Dinashabkan oleh Mashdar Tersebut
Jika ada mashdar yang dapat beramal seperti fi'ilnya yang mabni fa'il, dan fi'ilnya merupakan fi'il muta'addi; kemudian mashdar itu disandarkan pada kata yang dinashabkan oleh mashdar tersebut, yaitu disandarkan pada maf'ul bihnya, maka fa'il untuk mashdar tersebut harus berupa dhamir munfashil.
Contoh:
عَجِبْتُ مِنْ ضَرْبِكَ هُوَ
Saya heran atas pukulannya padamu.
Fokus pada kalimat:
مِنْ ضَرْبِكَ هُوَ
Kata ضَرْبِ merupakan mashdar yang dapat beramal seperti fi'ilnya yang mabni fa'il. Oleh karena itu, kata ضَرْبِ dapat beramal seperti ضَرَبَ.
Sebagaimana kata ضَرَبَ dapat beramal:
- Merafa'kan isim, sebagai fa'ilnya
- Menashabkan isim, sebagai maf'ul bihnya
maka demikian juga kata ضَرْبِ dapat beramal:
- Merafa'kan isim, sebagai fa'ilnya
- Menashabkan isim, sebagai maf'ul bihnya
Dalam contoh tersebut, kata:
ضَرْبِ
disandarkan pada isim yang dinashabkan, karena menjadi maf'ul bihnya, yaitu disandarkan pada dhamir ك yang menjadi maf'ul bih untuk ضَرْبِ.
Dalam contoh tersebut, dhamir:
هُوَ
adalah dhamir munfashil yang bermahal rafa', sebagai fa'il untuk ضَرْبِ.
Fa'il untuk ضَرْبِ dalam contoh tersebut harus berupa dhamir munfashil, yaitu هُوَ. Tidak boleh menggunakan dhamir muttashil.
Jika ada mashdar yang dapat beramal seperti fi'ilnya yang mabni fa'il, dan fi'ilnya merupakan fi'il muta'addi; kemudian mashdar itu disandarkan pada kata yang dinashabkan oleh mashdar tersebut, yaitu disandarkan pada maf'ul bihnya, maka fa'il untuk mashdar tersebut harus berupa dhamir munfashil.
Contoh:
عَجِبْتُ مِنْ ضَرْبِكَ هُوَ
Saya heran atas pukulannya padamu.
Fokus pada kalimat:
مِنْ ضَرْبِكَ هُوَ
Kata ضَرْبِ merupakan mashdar yang dapat beramal seperti fi'ilnya yang mabni fa'il. Oleh karena itu, kata ضَرْبِ dapat beramal seperti ضَرَبَ.
Sebagaimana kata ضَرَبَ dapat beramal:
- Merafa'kan isim, sebagai fa'ilnya
- Menashabkan isim, sebagai maf'ul bihnya
maka demikian juga kata ضَرْبِ dapat beramal:
- Merafa'kan isim, sebagai fa'ilnya
- Menashabkan isim, sebagai maf'ul bihnya
Dalam contoh tersebut, kata:
ضَرْبِ
disandarkan pada isim yang dinashabkan, karena menjadi maf'ul bihnya, yaitu disandarkan pada dhamir ك yang menjadi maf'ul bih untuk ضَرْبِ.
Dalam contoh tersebut, dhamir:
هُوَ
adalah dhamir munfashil yang bermahal rafa', sebagai fa'il untuk ضَرْبِ.
Fa'il untuk ضَرْبِ dalam contoh tersebut harus berupa dhamir munfashil, yaitu هُوَ. Tidak boleh menggunakan dhamir muttashil.